Kamis, 20 November 2014

Aku & Lupus, Part III



Gadis di Kegelapan

Ada saat dimana raga ingin terlelap, tapi jiwa tak kunjung terpejam. Namun terus merasa letih, tapi tak pernah ingin berhenti.
Berjalan meraih cahaya, menapaki arang-arang yang bertaburan, berpijak diatas serpihan-serpihan kaca yang retak, bertahan diatas keperihan, berjuang di dalam kepedihan, ingin kaki untuk berhenti namun jiwa tak merestui.
Inilah aku, aku masih berjalan dan akan tetap berjalan. Aku hanyalah manusia yang selalu merasa menyusuri jalan yang asing, dalam kegelapan, tanpa pikir panjang dengan diri yang hanya seorang, mencoba beranikan diri untuk melangkah.
Hidup dengan hal yang sangat menyiksa, entah apa yang harus aku katakan, mungkin ini cobaan, selalu hidup bersama luka, bernapas bersama perih, bahkan berjalan bersama air mata.
LUPUS,,, dialah cahaya gelapku, masih tetap diam dan tak mau beranjak keluar sedikit pun dari sudut itu, sudut yang dimana aku tak pernah mendatanginya, yaitu sudut-sudut didalam tubuh ini, yang terus dihiasi olehnya agar lebih terasa indah dengan air mataku.
Mungkin akan tetap disana dan akan tetap setia menemaniku yang walaupun sebenarnya aku tak pernah memintanya untuk setia padaku.
Empat tahun hidup bersama lupus membuatku tahu banyak tentang apa itu lupus yang sebenarnya, dan juga membuat aku tahu banyak tentang pahit manisnya kehidupan.

***

Tidak terasa aku sudah duduk di kelas XI, aku semakin dewasa dan kini aku sudah mampu berdamai dengan LUPUS, yang walaupun aku sering tidak sadarkan diri di kelas karena tidak mampu menahan rasa sakit ini, bahkan sering tangan dan kakiku sakit hingga tak dapat digerakkan, tapi aku tetap brjuang untuk menghadapinya, aku tahu dia tetap ada dalam tubuhku, tapi aku sadar, jika aku bersedih, itu hanya membuang waktuku saja.
Dikegelapan malam, hanya keheningan dan kesunyian yang menyapa telingaku.
Tiba-tiba..... kondisi ku melemah, ternyata lupus itu kembali menyerangku, seluruh tubuhku terasa sakit, dan aku tidak masuk sekolah selama beberapa hari.
Namun tidak lama kemudian keadaanku kembali membaik.
Seiring berjalannya waktu, membuat aku mulai terbiasa dengan lupus, kini ku lalui hari-hariku seperti biasa, dengan tawa dan canda bersama sahabat-sahabatku.
Sahabatku, Yasni awera, aku sering memanggilnya dengan sebutan Yasni atau lebih akrab lagi Ojha. Yasni selalu ada setia menemani hari-hariku, karena dia aku jadi lupa akan kehadiran lupus itu. Dia yang menghiasi hari-hariku menjadi lebih berwarna.
Betapa beruntungnya aku, terima kasih ya Allah engkau telah anugrahkan aku sahabat yang begitu setia dan menyayangiku.
Ditengah keasikanku bermain bersama Yasni, disitulah aku kenal dengan seorang laki-laki bernama Yory Fandany, aku sering memanggilnya Yory atau lebih akrab lagi Yong. Yory begitu baik kepadaku, dia ramah dan kami pun begitu akrab. Aku, Yasni dan Yory pun menjalin sebuah persahabatan.
Saat aku sedih dan lemah, mereka selalu menyemangatiku, senantiasa menghiburku. Mungkin aku sering menyusahkan mereka namun tak pernah sedikitpun mereka biarkan senyuman ini hilang. Berkat mereka, aku mampu jalani hidup ini dengan penuh semangat.
Kini hidupku semakin terasa ramai, tidak sepi, dan bahkan  aku  semakin  lupa  dengan si lupus  itu.  Dan  syukur Alhamdulillah selama ini lupus itu tidak pernah kambuh. Aku melewati hari-hariku dengan tawa dan canda bersama sahabat dan keluargaku.

***

Satu bulan telah berlalu, hal yang tidak aku sangka telah terjadi. Rasa erat persahabatan kami ternyata memberi arti yang lebih. Ada rasa yang lebih dari sekedar sahabat di antara aku dan Yory.
“Astaga hal yang aku takutkan terjadi, dia menaruh hati padaku, apakah di dunia ini tidak ada laki-laki dan perempuan yang boleh bersahabat” ucapku.
Sebulan menjalani hari-hari bersama, dengan perhatian yang dia berikan, aku mulai merasa aman dan nyaman jika berada didekatnya, dia telah memompa semangat hidupku, bagiku dia adalah manusia yang selalu membuat aku penasaran, terpukau akan tiap gerak-gerik tingkah lakunya, sulit untuk ditebak namun mudah untuk dimengerti. Entah sejak kapan perasaan ini berubah menjadi rasa suka.
Ya Allah, telah kurasakan, betaba besarnya kuasaMu. Kini aku berjalan mencari cahaya terang itu dengan sedikit senyuman, tapi kenapa tetap saja gelap ini tak kunjung hilang, aku lelah berjalan tanpa cahaya. Aku percaya engkau pasti telah merencanakan yang terbaik untukku.

***

Dua minggu telah berlalu…
Matahari telah keluar dari peraduannya, bersinar terang menyapa dunia yang penuh dengan liku-liku kehidupan. Aku terbangun dan ku sambut pagi ini dengan senyuman, waktunya untuk menjalankan kewajibanku sebagai seorang pelajar. Dengan penuh semangat aku bersiap-siap berangkat ke sekolah.
Saat jam pelajaran tiba, dalam keasikan bermain bersama sahabat. Tiba-tiba aku merasa lemas, dan aku tidak sadarkan diri.
“Indah..!” ucap Ojha panik.
Aku pun segera dilarikan ke UKS. Pihak sekolah pun segera menghubungi orang tuaku.
Dengan segera orang tuaku datang menemuiku.
“Astaga nak, kamu kenapa lagi?” ucap mama sambil mengajakku pulang.
Ternyata lupus itu kembali menyerangku, dan membuat aku tidak masuk sekolah selama satu minggu.
Tubuhku begitu lemas, tak ada yang dapat aku lakukan selain berbaring lemah di tempat tidur, seluruh tubuhku tidak dapat digerakkan.
“Ya allah, sakit dan hanya perih yang aku rasakan. Aku lelah, tiap hari aku lelah. Lelah menghitung tiap helaian nafas yang terhembus, lelah menghitung tiap detak jantung yang brdegup dan lelah menghitung tiap kedipan mata yang terpejam,” ucapku dalam hati.
Namun semuanya menjadi tiada lelah, karena kini ada seseorang yang telah hadir membantuku dalam berhitung seiring dengan hitungan namanya dan kisah-kisah indah bersamanya dan bersama orang-orang yang aku sayang.
Memang kali ini akau berjalan ditemani oleh senyuman-senyuman itu, senyuman dari orang-orang yang menyayangiku, namun aku ingin perjalanan ini terasa indah tanpa luka.
“Mendekatlah wahai titik terang ku, temui aku disini yang telah kebingungan mencari mu, raihlah tanganku dan bawalah aku keluar dari lorong yang gelap ini. Aku tahu semuanya akan indah pada waktunya, aku akan menanti waktu itu, mungkin tinggal sebentar atau masih lama lagi. Sabar, sabar,,” itulah kata yang sering menenangkanku saat aku kehilangan arah.
Satu minggu telah berlalu dan Alhamdulillah keadaanku membaik dan aku mulai melakukan aktivitas seperti biasanya.

***

          Beberapa bulan kemudian,,
Penderitaan belum juga usai. Tinggal sebentar lagi aku menghadapi ujian semester I, untuk mendapatkan hasil yang baik, aku pun mempersiapkan diri dengan tekun belajar. Hingga tak ku sadari aktivitasku terlalu berlebihan dan mengundang kembali lupus itu.
Lupus pun terbangun dan kembali menyerangku, lagi-lagi aku harus merasakan pahit ini.
Satu minggu aku tidak masuk sekolah.
“Begitu menderitanya aku, menahan sakit ini yang hanya seorang diri” ucapku.
“Kamu tidak sendiri, kamu masih punya aku, ada Yory, ada orangtua yang menyayangimu dan teman-teman, kami selalu ada buatmu, Ndah” ucap Yasni.
“Ya allah, dibalik kepedihanku engkau telah anugrahkan kebahagiaan, terima kasih karena engkau telah ciptakan sahabat dan orang-orang terdekatku yang begitu menyayangiku” ucapku dalam hati.
Saat ujian pun tiba, kondisiku masih kurang baik, namun aku tetap bertekat untuk mengikutinya.
Hari pertama Alhamdulillah lancar tanpa gangguan si lupus itu.
Namun di hari kedua, saat aku tengah mengisi soal ujian, tiba-tiba konsentrasiku terpecah, ternyata lupus itu telah  datang menyerangku. Mencengkram semaunya tak kenal waktu.
Aku merasakan pusing yang luar biasa sakitnya, rasanya ingin mati saja, aku sudah tidak sanggup menahan sakit ini, “Ya Allah apa yang telah aku pikirkan? Kuatkan aku” ucapku dalam hati.
Dan tiba-tiba……
Aku terjatuh dan tidak sadarkan diri.
Beberapa jam kemudian keadaanku mulai membaik, syukur Alhamdulillah.
Tidak terasa satu minggu telah berlalu, ujian pun telah berhasil aku lewati, walaupun sedikit terganggu oleh lupus itu.

***

Liburan pun tiba, inilah saatnya untuk menenangkan pikiranku sejenak. Aku mengisi liburanku bersama sahabat dan keluargaku.
Di tengah-tengah tawa candaku bersama orang-orang terdekatku, senyum kebahagiaanku sempat tertiup oleh angin deritaku.
Tidak salah lagi. Lupus, hanya dia yang selalu mengusik kehidupanku, tanpa permisi, sesuka hati menghapus senyumku, seenaknya saja memaksa keluar air mataku.
“Sudah cukup, cukup dengan ancaman-ancaman pahitmu” ucapku mengamuk kepada lupus.
Aku jatuh sakit lagi dan tidak bisa menikmati liburan dengan tenang.
Ya Allah, apakah tidak ada sedikit saja waktuku untuk merasakan indahnya kebahagiaan, mengapa harus selalu perih yang aku terima, aku hanya ingin menikmati hidup dengan sedikit senyuman, bukan dengan banyak air mata.
Teka-teki kehidupan kadang membuat aku bingung akan apa kelanjutan dari kisah-kisah yang sedang ku hadapi saat ini, entah akan tetap gelap ataukah cahaya itu akan datang.
Liburanku kali ini dihiasi oleh ‘indahnya’ keperihanku, kenangan yang tak akan pernah aku lupakan, akan selalu tersimpan rapi dalam memoriku.

***

Satu minggu telah berlalu, saatnya untuk kembali sekolah setelah libur. Ku sambut hari pertamaku dengan penuh semangat dan berharap kali ini lupus tak akan ikut campur dalam kehidupanku.
Dan Alhamdulillah lupus itu tidak mengusik ku.

***

Beberapa bulan kemudian….
Dimalam yang sunyi, aku terbangun, entah mengapa aku terasa lemas dan susah untuk bernafas.
“Adek...!!” ucapku memanggil adikku Dini.
“Kakak....!! kakak kenapa...!!” tanya adik.
Dengan segera Dini pun memanggil ayah.
Ayah pun datang dan sempat panik karena melihat aku yang susah untuk bernafas.
“Indah...!! minum dulu nak...!” ucap ayah mencoba menenangkanku.
Sementara aku semakin susah untuk bernafas. Tak ada satu kata yang keluar dari mulutku, tak sadar air mata ini terjatuh.
“Ya allah,, apa yang sedang terjadi pada ku, kuatkan aku ya allah” ucapku dalam hati.
Setelah beberapa jam berlalu, syukur alhamdulillah keadaanku membaik, namun keesokan harinya kakiku membengkak dan kejadian tadi malam terulang kembali bahkan semakin parah.
Aku tidak bisa nafas, seakan tak ada udara yang dapat aku hirup. Semua keluargaku menjadi panik.
Aku pun dilarikan ke rumah sakit AIA malam itu juga. Selama dalam perjalanan kondisiku semakin melemah dan aku terlihat begitu pucat.
“Indah, kamu yang kuat nak, ada mama disini” ucap mama menangis.
Sementara mobil tengah melaju dengan cepatnya “ya Allah, inikah akhir dari perjalanan hidupku, jika engkau ingin memanggilku, aku ikhlas menerima semuanya, kuatkan keluarga dan sahabat-sahabatku untuk mengikhlaskan kepergianku” ucapku dalam hati.
Setibanya di rumah sakit. Oksigenpun dipasangkan dan setelah beberapa jam dilakukan pemeriksaan oleh dokter.
“Anak saya kenapa dokter?” ucap mama.
“Mari kita bicara diruangan saya” ucap dokter.
Keesokan harinya...
Dengan penuh rasa penasaran, aku pun menanyakan kepada mama tentang apa yang sedang terjadi padaku.
“Saya kenapa ma?” ucapku bertanya kepada mama.
Mama tidak menjawab.
“Kamu hanya kelelahan saja, gara-gara kurang tidur jadi Lupusnya kambuh, tapi sudah membaik kok” ucap ayah menenangkanku.
“indah yang semanyat ya,, nanti kalau sudah sehat kan bisa main lagi sama adek-adeknya..” ucap bi emi menyemangatiku.
“gak.. indah gak apa-apa kok.. indah kan kuat” ucap om rudin.
Namun anehnya aku malah dilarikan ke Surabaya, aku pun bingung.
“Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Tidak mungkin aku baik-baik saja jika sakitnya menderita seperti ini” pikirku.
Persiapan untuk berangkat pun segera di siapkan oleh tim medis. Kami pun berangkat menggunakan sea plane. Selama di pesawat aku sempat kekurangan oksigen tapi untunglah cepat ditangani oleh dokter.
Ketika tiba di Bandara Juanda Surabaya, kami langsung di jemput oleh ambulance. 
Selama dalam perjalanan, kondisiku semakin melemah, ku tatap wajah ayah yang panik melihat kondisiku yang telah pucat. Sementara dokter terus sibuk memusatkan pikirannya untuk menolongku. Inikah saatnya aku pergi.
Dengan kondisi yang melemah, aku tak dapat melakukan apa-apa selain hanya berfikir tentang apa yang sebenarnya terjadi padaku.
Ketika tiba di Surabaya, aku dibawa ke rumah sakit Premier yang ada di Jalan Nginden Intan Barat Blok B, Nginden Jangkungan, Sukolilo Surabaya, Jawa Timur.
Disana aku diperiksa secara keseluruhan, mulai dari pemeriksaan radiology, dan pemeriksaan lainnya. Dan setelah itu aku pun dibawa ke ruang HCU, semua alat-alat dipasangkan di tubuhku.
“Tidak mungkin kalau hanya kelelahan saja penanganannya sampai begini menderitanya” ucapku dalam hati.
Aku jadi penasaran dengan apa yang sebenarnya ku alami, “Ternyata mereka menyembunyikannya dariku” ucapku dalam hati.
“Aku sakit apa ma?” tanyaku.
Namun jawaban mereka sama “HANYA KELELAHAN”.
Aku mencoba mencari tahu, aku pernah membaca sebuah buku tentang penyakit lupus, aku mencocokkan gejala-gejala yang ku alami saat ini dengan apa yang aku baca dibuku itu dan akupun mengambil kesimpulan kalau aku mengalami bocor ginjal, tapi apa benar???
Setelah beberapa hari aku dirawat di rumah sakit, apa yang mereka sembunyikan pun mulai terbongkar, ternyata apa yang aku curigai itu benar.
Dan kebocoran ginjalku ini disebabkan karena lupusku yang kembali menyerangku, ternyata benar serangannya sangat menakutkan, cengkramannya yang sangat dahsyat hampir membuatku terjatuh.
          Di Surabaya, untuk ginjalku, aku ditangani oleh Dr. M.Thaha, Sp.PD-KGH, PhD sedangkan untuk lupusku, aku ditangani oleh Prof. Dr. Joewono Suroso, Sp.PD, MSc.
Rasa takut akan hal-hal buruk pun mulai menghantui pikiranku, ya allah, aku tahu ini cobaan untuk ku, tapi kenapa kau berikan cobaan ini bertubi-tubi, lupusku saja masih enggan pergi dariku, kini sakit ini yang datang padaku.
Sudah cukup dengan drama yang telah ada, jangan ditambah lagi dengan naskah-naskah baru yang tidak aku inginkan.
Ya Allah, engkaulah yang Maha mengetahui akan apa yang terjadi selanjutnya, engkaulah yang Maha mengetahui naskah drama kehidupan ini, mudahkanlah peranku dalam drama kehidupan ini. Ya allah, aku ikhlas menerima semuanya, karena aku tahu engkau yang Maha bijaksana.
Keesokan harinya tranfusi darah dilakukan, dengan kondisi yang begitu pucat, aku hanya mampu memohon dan berharap kepada Allah akan datang pertolonganNya untukku, raga ini telah lelah, jiwa ini begitu rapuh.
“Ya Allah, pandanglah hambaMu ini yang tengah ‘menikmati indahnya’ cobaanMu” ucapku.
“Sabar nak, Indah harus tahu di balik semua ini pasti ada hikmahnya” ucap ayah.
“Indah kuat hadapi semuanya, masa mau kalah sama penyakit, emang dia siapa bisa ngalahin Indah, dia bukan siapa-siapa, Indah punya Allah yang akan selalu membantu Indah, banyak pasien saya yang sakitnya sama seperti Indah, mereka tetap tegar, tetap semangat, buktinya sampai sekarang mereka mampu hidup seperti biasanya” ucap dokter Joewono menyemangatiku.
Beberapa hari kemudian, karena keadaanku mulai membaik aku pun dipindahkan ke kamar pasien dan dua hari kemudian mama, adik-adik dan tanteku datang menyusul ke Surabaya. Dan kedatangan mereka ke sini membuat aku merasa bahagia. Aku menjadi lebih semangat.
Aku tetap berusaha kuat melewati semuanya, aku jalani hari-hari ini dengan senyuman. Dengan diri yang tak berdaya, aku masih melanjutkan perjalanan ini. Dengan semangatku yang tak pernah goyah, cahaya gelap pun kembali membisu.
Karena cairan-cairan pekat yang terus menerus masuk kedalam tubuhku, membuat tangan kiriku tempat suntikan infus mulai membengkak, dan terpaksa harus diganti ke tangan kanan.
Satu minggu kemudian tangan kananku mulai membengkak lagi, perawat menjadi bingung dan segera menghubungi Dr. Thaha.
Dr. Thaha pun menyarankan untuk menggunakan CVC, dan setelah beberapa menit kemudian aku pun diantarkan untuk dipasangkan CVC.
Aku pun dibawa masuk ke ruang pulih sadar. Dr. Pesta, spesialis anastesi pun menjelaskan tentang CVC itu kepada ayah.
Setelah usai berbicara dengan ayahku, ayah pun hanya bisa menunggu di luar dan dokter segera menghampiriku.
Jantungku pun berdegub kencang.
“aku mau diapakan?” tanyaku dalam hati.
“hallo nak…!!” sapa dokter.
“hallo…” jawabku perlahan
“jangan takut, rileks saja, nanti saya akan memasangnya disini, dan langsung menuju ke peredaran darah besar…” ucap dokter sambil memegang bahu sebelah kananku.
“CVC ini fungsinya sama seperti suntikan infus biasa, namun dapat bertahan lama tanpa harus membengkak dan lebih awet” Jelas dokter
Aku hanya tersenyum.
“gak akan sakit, nanti saya akan suntikan bius lokal, jadi tidak akan terasa” jelas dokter.
Seluruh alat-alat pun telah disiapkan. Dan aku pun mulai ditutup oleh kain hijau. Seluruh tubuhku telah tertutup oleh kain hijau itu, kecuali bahu kananku.
“saya suntik ya, jangan gerak” ucap dokter
Aku pun memejamkan mataku.
Setelah beberapa menit…
“oke… sudah selesai” ucap dokter
Suster pun membuka kain hijau yang tadinya menutupiku. Dan tersenyum kepadaku sambil berkata.
“tidak sakit kan…” ucap suster.
Aku pun tersenyum. Dan suster pun memanggil keluargaku yang sedang menunggu diluar.

***

Tiga minggu kemudian....
Enam kantong darah telah masuk dalam tubuhku dan Alhamdulillah keadaanku membaik.
Syukur alhamdulillah keaadaanku semakin membaik. Dan aku di perbolehkan pulang oleh dokter.
 “Keadaan Indah sudah membaik, hari ini Indah boleh pulang!” ucap dokter.
Aku pun pulang ke Taliwang, rasa rindu dengan keluarga dan sahabat telah terobati. Namun tidak sampai lima hari aku mampu bertahan di rumah.
“Ya allah aku lelah, apa yang harus aku lakukan. Menangis, tapi untuk apa? Marah, tapi kepada siapa? Putus asa, tapi dosa” ucapku dalam hati.
Entahlah, yang diketahui hanyalah diri yang harus terus dan terus berjalan. Seakan berjalan tanpa kaki, melihat tanpa mata, dan menangis pun tanpa suara.  
Setelah lima hari di rumah, di suatu hari saat aku tengah istirahat, tiba-tiba aku mengalami batuk-batuk, dan batuk itu berlangsung secara terus-menerus hingga membuat tenggorokanku sakit.
Setelah beberapa  menit, saat aku batuk, tiba-tiba saat aku meludah, aku terkejut.
“mengapa bercampur darah?” tanyaku.
“itu karna kamu keseringan batuk, mungkin tenggorokanmu luka” jawab ayah.
Namun, lama kemudian kondisiku melemah, dan aku merasakan sesak nafas lagi, semuanya menjadi panic.
Sebagai pertolongan pertama, hari itu juga aku langsung dilarikan ke klinik AIA.
Penjalanan yang meninggalkan kisah-kisah berbagai macam rasa, banyak hal yang menemui dan ku temui, entah itu pahit ataupun manis, saat pahit menemuiku, aku hanya mencari manis namun yang aku temui hanyalah pedis, asin, dan asam.
Ketika tiba di AIA klini, oksigen pun langsung dipasangkan. Orang tuaku pun langsung menceritakan apa saja yang aku alami saat di rumah tadi.
Dan dokter pun menjelaskan kepadaku, kalau darah yang keluar tadi itu karena aku keseringan batuk, jadi tenggorokanku luka.
Terdiam dan membisu karena aku tak tahu drama apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku tidak tahu, apakah yang dikatakan oleh dokter itu benar ataukah hanya untuk menenangkan fikiranku saja.
Keadaanku semakin melemah, dan malah semakin parah dari sebelumnya.
“Ya allah kuatkan anakku,, bantulah dia melawan penyakitnya” ucap mama menangis.
Sering kulihat mama menangis dan entah mengapa aku sangat membenci air mata itu.
“Tenang ma, kalau kamu sedih Indah jadi ikut sedih” ucap ayah menenangkan mama.
Sementara kondisiku semakin pucat. Semuanya menjadi panik, aku pun langsung dilarikan ke Surabaya dan kembali lagi ke rumah sakit itu.
Lagi-lagi aku harus transfusi darah. Ya Allah, aku tidak tahu dengan cara bagaimana lagi untuk menahan sakit ini.
Beginikah jalan hidupku, sampai kapan kaki ini akan berjalan menapaki serpihan-serpihan kaca yang retak, sampai kapan kaki ini akan berjalan di atas arang-arang yang panas membara, sampai kapan  diri ini akan menyusuri lorong panjang yang gelap gulita.
“Astaga,,, cobaan ini datang bertubi-tubi padaku. Masikah ada kesempatan untuk ku merasaakan indahnya hidup, masihkah ada kesempatan ku untuk menghirup segarnya udaraMu ya allah. Sampai kapan aku harus menderita karena penyakit ini, sampai kapan ya allah? apakah akan tetap seperti ini?” ucapku.
“Sabar nak, jangan patah semangat, Allah Maha mendengar, jangan pernah putus meminta kepadaNya, jangan pernah lelah memohon padaNya” ucap ayah kepadaku.
Ayah selalu setia menemaniku,, tak pernah sedikit pun pandangannya lepas dariku.
Kini dua kantong darah telah masuk dalam tubuhku.
Ruangan ini rasanya telah akrab dengan tubuhku. Bosan, jenuh hanya itu yang aku rasa. Aku rindu dengan semuanya, rindu dengan kehidupanku yang dulu, rindu dengan sahabat-sahabatku, kini aku hanya mampu terbaring lemah, memandang waktu yang tak mungkin dapat terulang kembali.
“indah harus semangat.. kalau indah semangat pasti cepatsembuh..” ucap ayah menyemangatiku.
Kini diri ini hanya terdiam membisu, bicara bersama air mata, bahkan mungkin aku hampir lupa bagaimana caranya untuk tersenyum, bagaimana caranya untuk tertawa.
Tiga minggu aku dirawat di rumah sakit, akhirnya aku diperbolehkan pulang, dan keadaanku pun semakin membaik, “Alhamdulillah... terima kasih ya Allah, engkau telah mengabulkan doaku” ucapku.
Aku pun pulang ke Taliwang dan bertemu dengan keluarga dan sahabat-sahabatku.

***

Seminggu kemudian aku langsung dihadapi oleh ujian akhir semester II, satu bulan lebih aku tidak masuk sekolah, aku jadi bingung harus jawab apa di tes nanti. Aku beruntung, ada Yasni dan Yory yang selalu setia menemaniku, mereka mengajariku tentang materi-materi yang tidak aku ikuti selama aku sakit. Adalah sedikit bekalku untuk menjawab soal ulangan besok. Dan Alhamdulillah berkat mereka aku bisa menjawab soal dan syukurlah aku berhasil melewati ulangan semester dengan tenang tanpa gangguan lupus.

***

          Dua minggu telah berlalu, dan selama dua minggu itu aku hanya terdiam dirumah, aku merasa kesepian, sangat kesepian. Tak ada sedikit pun kecerian dalam hati ini, aku tahu, orang tuaku sangat menyayangiku melebihi apa pun di dunia ini, mereka selalu ada dan selalu siap mengantarkan aku kemanapun aku mau, meski aku selalu memiliki apa pun yang aku inginkan. Namun, bukan kehidupan seperti ini yang aku mau. Aku merasa sendiri, kesepian tanpa ada yang mau mengerti mengapa aku merasa kesepian.
Aku pun masuk kedalam kamarku dan bertanya pada hati kecil ini, mengapa aku tidak bisa seperti mereka di luar sana? Mengapa langkahku harus selalu tertahan? Mengapa kehidupan ini hanya terdiam membisu? Aku juga ingin hidup bahagia seperti mereka diluar sana, terbang bebas bagai seekor burung-burung kecil dilangit luas, meski tubuhnya kecil mungil, namun dia mampu terbang sesuka hati, bebas mengepakkan sayapnya kemana pun dia mau. Hinggap pada ranting-ranting yang indah dan menyanyikan nada-nada yang merdu.
Keesokan harinya,,
Hari pertamaku masuk sekolah, aku sudah kangen sama taman-teman dan sahabatku. Namun di hari pertama ini, aku langsung dihadapi oleh sesuatu yang sangat membuat hati ini rapuh.
 “Permisi bu, saya ingin menanyakan masalah nilai saya selama tidak mengikuti pelajaran. Apakah ada masalah?” tanyaku kepada wali kelas.
“Nilai Indah semuanya bagus, namun ibu perlu bicara sama orang tua Indah” jawab ibu.
Setelah beberapa jam, mama pun datang.
“Maaf ibu, ada yang ingin saya bicarakan, ini masalah Indah” ucap wali kelas.
“Ya bu, nilai Indah bermasalah ya?” ucap mama.
“Tidak, nilai Indah semuanya bagus, kemarin pihak guru sudah membicarakan masalah ini, dan hasil keputusannya Indah bisa naik kelas namun sebagian guru menyarankan kepada Indah, alangkah baiknya untuk istirahat dulu satu tahun. Bagaimana menurut ibu?” ucap wali kelas kepada mama.
“Kalau saya setuju saja dengan saran ibu, karena itu juga demi kebaikan Indah. Tapi bagaimana dengan Indah, apakah dia mau?” ucap mama.
Mendengar kata-kata itu, dengan sekejap senyuman ini hilang, aku terdiam membisu, terdunduk dan masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar.
Ya Allah aku tahu tak akan engkau biarkan ada luka tanpa penawarnya. Aku juga tahu pipi ini tak akan engkau biarkan basah tanpa ada kebahagian yang akan menghapusnya..
Tegarkan aku dalam menghadapi semuanya, kuatkanlah hatiku yang telah rapuh ini. Harus berapa banyak lagi tetesan air mata yang terjatuh, hingga tangan ini tidak mampu untuk mengusapnya.
“Bagaimana Indah?” Tanya ibu kepadaku.
Aku tidak menjawab, sambil berusaha menahan air mata ini agar tidak terjatuh.
“Bagaimana nak?” Tanya mama.
Aku tetap tidak menjawab.
“Kalau Indah memilih tetap melanjutkan sekolah, itu akan menyusahkan Indah. Kelas XII itu sangat berat, jadwal belajarnya lebih padat, itu akan membuat kesehatan Indah makin terganggu, sebaiknya indah istirahat dulu satu tahun untuk mempersiapkan tenaganya untuk tahun yang akan datang” ucap ibu menjelaskan kepadaku.
Dengan sekejap raut wajahku berubah. Sakiiiittt,,, begitu rapuhnya aku saat mendengar kata-kata itu.
“Semudah itukah kata-kata itu keluar, tanpa memikirkan perasaanku apakah hatiku tidak akan terluka, apakah jalanku akan terhenti sampai disini? Jangan pandang aku lemah, aku juga ingin seperti teman-teman yang lainnya” ucapku dalam hati.
“Seandainya kita menyetujui keputusan ini dan di tahun yang akan datang dia harus beradaptasi dengan teman-temannya yang baru, itu akan membuat dia merasa asing, kasian juga” ucap mama.
 “Tapi, kasian juga Indahnya jika belajarnya harus diporsir, akan memberi pengaruh buruk pada kesehatannya” ucap wali kelas.
“Tapi, dengan menyuruh Indah untuk Istirahat satu tahun itu juga akan menyiksa dia, Indah akan merasa kesepian dan dia akan merasa terbebani, justru itu akan membuat dia stres, dan akhirnya juga berdampak buruk pada kesehatannya” ucap mama.
“Baiklah besok saya akan bicarakan masalah ini dengan guru-guru yang lain” ucap wali kelas.

***

Saat pembagian rapot tiba…
“Ya allah, keputusan apa yang harus aku terima, apakah berhenti ataukah tetap lanjut sekolah??” ucapku panik.
Dan syukurlah, Maha besar Allah, keputusannya, yaitu aku tetap lanjut sekolah,, Alhamdulillah,, Allah memang Maha pengasih dan penyayang..

***

Saat liburan akhir semester,, melihat kondisiku yang masih belum stabil, menjadikan liburan kali ini begitu hening,, aku nikmati liburan ini hanya dengan berdiam dirumah. Aku begitu kesepian. Sampai kapan aku harus tetap terpuruk dalam kesedihanku. Aku lelah jika harus terus menghadapi derita ini.
Ya Allah,, janganlah engkau biarkan hatiku berputus asa dan mengeluh meragukan rahmatMu, dalam keheningan ku bersimpuh dan memohon padaMu, mencoba menenangkan hati ini dengan membuka perlahan lembaran demi lembaran kitab suciMu, ya Allah tak pernah lelah tangan ini menengadah meminta kepadaMu, tak pernah letih diri ini bersujud hanya kepadaMu, sinarilah jalan kehidupanku yang kini masih terasa gelap, tuntunlah langkahku menuju pintu kebahagiaan.
Berhari-hari menghabiskan waktu libur dirumah, membuat aku sadar, bahwa hidup ini tetap akan terus berjalan, aku tidak boleh terus berdiam menatap perih ini, buat apa menangis selama masih ada kesempatan untuk tersenyum, aku sadar di luar sana masih banyak yang lebih susah dari aku.

***

Beberapa minggu kemudian…
Rentang waktu kadang membuat kita lupa akan tiap detik yang telah kita lalui, membuat ku sadar dan lebih menghargai waktu walaupun itu hanya sedetik.
Saat itu tanggal 5 Juli 2014, bertepatan dengan bulan suci ramadhan, tidak terasa kini aku semakin dewasa. Di hari ulang tahunku ini aku berharap akan datang kebahagiaanku dan aku bisa bebas dari lupus itu. Bertahan melawan perih ini yang hanya seorang diri. Aku lelah selalu dihantui oleh cengkraman-cengkraman yang hampir merenggut paksa jiwaku pergi.
Namun, di hari ulang tahunku ini aku bahagia, melihat perhatian orang tuaku yang begitu besar kepadaku. Kehangatan kasih sayang yang tak pernah putus selalu aku rasakan.
Di hari yang istimewa aku mendapatkan kado istimewa dari orang yang istimewa. Buat Yong, makasih atas kado istimewanya. Aku tidak tahu harus mengatakan apa kepada mu, makasih karna sudah membuat aku tersenyum. Makasih juga karena sudah mau menjadi senyuman di hidupku.
Buat Ojha dan adik-adik ku, makasih ya atas kadonya.
“HBD ya buat sahabatku tersayang, semoga sehat selalu, panjang umur, bahagia selalu dan semoga cepat sembuh ya sahabatku tersayang. Maaf aku Cuma bisa kasih kado yang kecil tapi kamu harus bangga, karena kamu adalah orang pertama yang mendapatkan kado dari saya. Ini adalah boneka kesayangan ku, aku kasih ke kamu, jaga baik-baik ya, namanya unyu-unyu” ucap Ojha.
“Selamat ulang tahun kakak, semoga panjang umur dan sehat selalu, amin” ucap adik-adikku.
Meski masih hidup dalam kegelapan, aku akan tetap bertahan, karena aku telah menemukan remang-remang dan aku yakin suatu saat nanti akan ada cahaya terang yang akan menyinari hidupku, dan akan mengusir sakit ini.
AMIN YA ROBBAL ALAMIN.

***




Manusia di Kegelapan
-Nur Indah Kurniasari-

Saat malam menyapa
Berjalan perlahan meraih cahaya
Ku temukan remang-remang
kemudian kembali gelap

Berjuta langkah ku lalui
kemana sebenarnya langkah ku
arahnya tak mampu ku sangka
sedetik lengah aku dibuat jatuh

Tuhan
Tak pernah letih hati ini memanggil namaMu
Menyebut asma-asmaMu
Dan mengharap rahmatMu

Tuhan
lorong ini memang masih gulita
hanya hati ini penunjuk jalan
hingga gelap diusir cahaya

Tuhan
Tangan ini senantiasa menengadah
Raga ini senantiasa bersimpuh
Hanya kepadaMu semata

Tuhan
Tuntunlah aku menuju cahayaMu
Temani aku hingga cahaya itu sampai di genggamanku
Jangan engkau biarkan gelap ini menelanku

3 komentar:

  1. Puisi mu membuat air mata ini membasahi pipi ku. Indah seorg gadis kecil yg mempunyai kemampaun menulis yg luar biasa. Goresan tangan mu membuat yg membacanya megerti apa yg engkau rasakan. Kau telah menulis dengan hati mu. Allah selalu bersama mu. Engkat telah bercerita begitu luar biasanya pengorbanan seorg ibu dan ayah. Mrk adalah org tua yg luar biasa. Salam saya buat org tua Indah yg sdh menjadi org tua terbaik buat anak2nya. Salam saya buat sahabat mu yg mrk sdh menjadi bagian dalam hidup mu, serta salam saya buat keluarga mu yg telah menjadi penyemangat dlm hidup mu. Mrk adalah org yg terbaik yg selalu menemani hari2 mu. Skrg dirimu sdh damai dan tersenyum disisi Nya. Doa mu Insyaallah diijabah oleh Nya. Dan doa kami buat mu selalu yg terbaik. Salam MJ

    BalasHapus
  2. Membaca kisahmu aku cair secairnya walaupun tdk mengenalmu,kau Anak baik luar biasa yg jg cerdas terlihat dr cara menguntai kata kata yg sarat makna,msh muda namun cerita dan deritamu memberi pembelajaran hidup bg kita semua smoga Allah SWT menempatknmu disurga Nya yg paling indah sesuai dgn namamu.Aamiin.salam ernaeka

    BalasHapus
  3. Haaah entahlah sya tidak bisa berbicara bnyak lgi,saya hnya bisa menyimpulkan kenangan,dan menyisihkan lembar memori untuk di simpan,ingin sekali rasanya bisa mengenggam tnganmu lgi,bersenda gurau dnganmu,melihat hiasan senyuman mu raut wajah cemberutmu,tpi apa daya yg kuinginkan hnya bisa sebatas angan angan,hnya bisa tertutup dlm sebuah perasaan yg entah kapan itu semua bisa kurasakan kembali,,rindu ini mencekam,menusuk tpi takkan pernah bisa terobati takkan pernah bisa,mimpi dan terbanglah jauh semoga aku bisa melihat semua dalm mimpi yg hiasi bunga tidurku Nur Indah

    BalasHapus