Gadis di
Kegelapan
Ada saat
dimana raga ingin terlelap, tapi jiwa tak kunjung terpejam. Namun terus merasa
letih, tapi tak pernah ingin berhenti.
Berjalan
meraih cahaya, menapaki arang-arang yang bertaburan, berpijak diatas
serpihan-serpihan kaca yang retak, bertahan diatas keperihan, berjuang di dalam
kepedihan, ingin kaki untuk berhenti namun jiwa tak merestui.
Inilah
aku, aku masih berjalan dan akan tetap berjalan. Aku hanyalah manusia yang
selalu merasa menyusuri jalan yang asing, dalam kegelapan, tanpa pikir panjang
dengan diri yang hanya seorang, mencoba beranikan diri untuk melangkah.
Hidup
dengan hal yang sangat menyiksa, entah apa yang harus aku katakan, mungkin ini
cobaan, selalu hidup bersama luka, bernapas bersama perih, bahkan berjalan
bersama air mata.
LUPUS,,,
dialah cahaya gelapku, masih tetap diam dan tak mau beranjak keluar sedikit pun
dari sudut itu, sudut yang dimana aku tak pernah mendatanginya, yaitu
sudut-sudut didalam tubuh ini, yang terus dihiasi olehnya agar lebih terasa
indah dengan air mataku.
Mungkin
akan tetap disana dan akan tetap setia menemaniku yang walaupun sebenarnya aku
tak pernah memintanya untuk setia padaku.
Empat
tahun hidup bersama lupus membuatku tahu banyak tentang apa itu lupus yang
sebenarnya, dan juga membuat aku tahu banyak tentang pahit manisnya kehidupan.
***
Tidak terasa aku sudah duduk di kelas XI, aku semakin dewasa dan kini aku sudah mampu
berdamai dengan LUPUS, yang
walaupun aku sering tidak sadarkan diri di kelas karena tidak mampu menahan
rasa sakit ini, bahkan sering tangan dan kakiku sakit hingga tak dapat
digerakkan, tapi aku tetap brjuang untuk menghadapinya, aku tahu dia tetap ada
dalam tubuhku, tapi aku
sadar, jika aku bersedih, itu hanya membuang waktuku saja.
Dikegelapan
malam, hanya keheningan dan kesunyian yang menyapa telingaku.
Tiba-tiba.....
kondisi ku melemah, ternyata lupus itu kembali menyerangku, seluruh tubuhku
terasa sakit, dan aku tidak masuk sekolah selama beberapa hari.
Namun
tidak lama kemudian keadaanku kembali membaik.
Seiring
berjalannya waktu, membuat aku mulai terbiasa dengan lupus, kini ku lalui
hari-hariku seperti biasa, dengan tawa dan canda bersama sahabat-sahabatku.
Sahabatku,
Yasni awera, aku sering memanggilnya dengan sebutan Yasni atau lebih akrab lagi
Ojha. Yasni selalu ada setia menemani hari-hariku, karena dia aku jadi lupa
akan kehadiran lupus itu. Dia yang menghiasi hari-hariku menjadi lebih
berwarna.
Betapa
beruntungnya aku, terima kasih ya Allah engkau telah anugrahkan aku sahabat
yang begitu setia dan menyayangiku.
Ditengah
keasikanku bermain bersama Yasni, disitulah aku kenal dengan seorang laki-laki
bernama Yory Fandany, aku sering memanggilnya Yory atau lebih akrab lagi Yong.
Yory begitu baik kepadaku, dia ramah dan kami pun begitu akrab. Aku, Yasni dan Yory
pun menjalin sebuah persahabatan.
Saat aku
sedih dan lemah, mereka selalu menyemangatiku, senantiasa menghiburku. Mungkin
aku sering menyusahkan mereka namun tak pernah sedikitpun mereka biarkan
senyuman ini hilang. Berkat mereka, aku mampu jalani hidup ini dengan penuh
semangat.
Kini
hidupku semakin terasa ramai, tidak sepi, dan bahkan aku semakin
lupa dengan si lupus itu. Dan
syukur Alhamdulillah selama ini lupus
itu tidak pernah kambuh. Aku melewati hari-hariku dengan tawa dan canda bersama
sahabat dan keluargaku.
***
Satu
bulan telah berlalu, hal yang tidak aku sangka telah terjadi. Rasa erat
persahabatan kami ternyata memberi arti yang lebih. Ada rasa yang lebih dari
sekedar sahabat di antara aku dan Yory.
“Astaga
hal yang aku takutkan terjadi, dia menaruh hati padaku, apakah di dunia ini
tidak ada laki-laki dan perempuan yang boleh bersahabat” ucapku.
Sebulan
menjalani hari-hari bersama, dengan perhatian yang dia berikan, aku mulai merasa
aman dan nyaman jika berada didekatnya, dia telah memompa semangat hidupku,
bagiku dia adalah manusia yang selalu membuat aku penasaran, terpukau akan tiap
gerak-gerik tingkah lakunya, sulit untuk ditebak namun mudah untuk dimengerti.
Entah sejak kapan perasaan ini berubah menjadi rasa suka.
Ya Allah,
telah kurasakan, betaba besarnya kuasaMu. Kini aku berjalan mencari cahaya
terang itu dengan sedikit senyuman, tapi kenapa tetap saja gelap ini tak
kunjung hilang, aku lelah berjalan tanpa cahaya. Aku percaya engkau pasti telah
merencanakan yang terbaik untukku.
***
Dua
minggu telah berlalu…
Matahari
telah keluar dari peraduannya, bersinar terang menyapa dunia yang penuh dengan
liku-liku kehidupan. Aku terbangun dan ku sambut pagi ini dengan senyuman,
waktunya untuk menjalankan kewajibanku sebagai seorang pelajar. Dengan penuh
semangat aku bersiap-siap berangkat ke sekolah.
Saat jam
pelajaran tiba, dalam keasikan bermain bersama sahabat. Tiba-tiba aku merasa
lemas, dan aku tidak sadarkan diri.
“Indah..!”
ucap Ojha panik.
Aku pun
segera dilarikan ke UKS. Pihak sekolah pun segera menghubungi orang tuaku.
Dengan
segera orang tuaku datang menemuiku.
“Astaga
nak, kamu kenapa lagi?” ucap mama sambil mengajakku pulang.
Ternyata
lupus itu kembali menyerangku, dan membuat aku tidak masuk sekolah selama satu
minggu.
Tubuhku
begitu lemas, tak ada yang dapat aku lakukan selain berbaring lemah di tempat
tidur, seluruh tubuhku tidak dapat digerakkan.
“Ya
allah, sakit dan hanya perih yang aku rasakan. Aku lelah, tiap hari aku lelah.
Lelah menghitung tiap helaian nafas yang terhembus, lelah menghitung tiap detak
jantung yang brdegup dan lelah menghitung tiap kedipan mata yang terpejam,”
ucapku dalam hati.
Namun
semuanya menjadi tiada lelah, karena kini ada seseorang yang telah hadir
membantuku dalam berhitung seiring dengan hitungan namanya dan kisah-kisah
indah bersamanya dan bersama orang-orang yang aku sayang.
Memang
kali ini akau berjalan ditemani oleh senyuman-senyuman itu, senyuman dari
orang-orang yang menyayangiku, namun aku ingin perjalanan ini terasa indah tanpa
luka.
“Mendekatlah
wahai titik terang ku, temui aku disini yang telah kebingungan mencari mu,
raihlah tanganku dan bawalah aku keluar dari lorong yang gelap ini. Aku tahu
semuanya akan indah pada waktunya, aku akan menanti waktu itu, mungkin tinggal
sebentar atau masih lama lagi. Sabar, sabar,,” itulah kata yang sering
menenangkanku saat aku kehilangan arah.
Satu
minggu telah berlalu dan Alhamdulillah keadaanku membaik dan aku mulai
melakukan aktivitas seperti biasanya.
***
Beberapa
bulan kemudian,,
Penderitaan
belum juga usai. Tinggal sebentar lagi aku menghadapi ujian semester I, untuk
mendapatkan hasil yang baik, aku pun mempersiapkan diri dengan tekun belajar.
Hingga tak ku sadari aktivitasku terlalu berlebihan dan mengundang kembali
lupus itu.
Lupus pun
terbangun dan kembali menyerangku, lagi-lagi aku harus merasakan pahit ini.
Satu
minggu aku tidak masuk sekolah.
“Begitu
menderitanya aku, menahan sakit ini yang hanya seorang diri” ucapku.
“Kamu
tidak sendiri, kamu masih punya aku, ada Yory, ada orangtua yang menyayangimu
dan teman-teman, kami selalu ada buatmu, Ndah” ucap Yasni.
“Ya
allah, dibalik kepedihanku engkau telah anugrahkan kebahagiaan, terima kasih
karena engkau telah ciptakan sahabat dan orang-orang terdekatku yang begitu
menyayangiku” ucapku dalam hati.
Saat
ujian pun tiba, kondisiku masih kurang baik, namun aku tetap bertekat untuk
mengikutinya.
Hari
pertama Alhamdulillah lancar tanpa gangguan si lupus itu.
Namun di
hari kedua, saat aku tengah mengisi soal ujian, tiba-tiba konsentrasiku
terpecah, ternyata lupus itu telah
datang menyerangku. Mencengkram semaunya tak kenal waktu.
Aku
merasakan pusing yang luar biasa sakitnya, rasanya ingin mati saja, aku sudah
tidak sanggup menahan sakit ini, “Ya Allah apa yang telah aku pikirkan? Kuatkan
aku” ucapku dalam hati.
Dan
tiba-tiba……
Aku
terjatuh dan tidak sadarkan diri.
Beberapa
jam kemudian keadaanku mulai membaik, syukur Alhamdulillah.
Tidak
terasa satu minggu telah berlalu, ujian pun telah berhasil aku lewati, walaupun
sedikit terganggu oleh lupus itu.
***
Liburan
pun tiba, inilah saatnya untuk menenangkan pikiranku sejenak. Aku mengisi
liburanku bersama sahabat dan keluargaku.
Di
tengah-tengah tawa candaku bersama orang-orang terdekatku, senyum kebahagiaanku
sempat tertiup oleh angin deritaku.
Tidak
salah lagi. Lupus, hanya dia yang selalu mengusik kehidupanku, tanpa permisi,
sesuka hati menghapus senyumku, seenaknya saja memaksa keluar air mataku.
“Sudah
cukup, cukup dengan ancaman-ancaman pahitmu” ucapku mengamuk kepada lupus.
Aku jatuh
sakit lagi dan tidak bisa menikmati liburan dengan tenang.
Ya Allah,
apakah tidak ada sedikit saja waktuku untuk merasakan indahnya kebahagiaan,
mengapa harus selalu perih yang aku terima, aku hanya ingin menikmati hidup
dengan sedikit senyuman, bukan dengan banyak air mata.
Teka-teki
kehidupan kadang membuat aku bingung akan apa kelanjutan dari kisah-kisah yang
sedang ku hadapi saat ini, entah akan tetap gelap ataukah cahaya itu akan
datang.
Liburanku
kali ini dihiasi oleh ‘indahnya’ keperihanku, kenangan yang tak akan pernah aku
lupakan, akan selalu tersimpan rapi dalam memoriku.
***
Satu
minggu telah berlalu, saatnya untuk kembali sekolah setelah libur. Ku sambut
hari pertamaku dengan penuh semangat dan berharap kali ini lupus tak akan ikut
campur dalam kehidupanku.
Dan
Alhamdulillah lupus itu tidak mengusik ku.
***
Beberapa
bulan kemudian….
Dimalam
yang sunyi, aku terbangun, entah mengapa aku terasa lemas dan susah untuk
bernafas.
“Adek...!!”
ucapku memanggil adikku Dini.
“Kakak....!!
kakak kenapa...!!” tanya adik.
Dengan
segera Dini pun memanggil ayah.
Ayah pun
datang dan sempat panik karena melihat aku yang susah untuk bernafas.
“Indah...!!
minum dulu nak...!” ucap ayah mencoba menenangkanku.
Sementara
aku semakin susah untuk bernafas. Tak ada satu kata yang keluar dari mulutku,
tak sadar air mata ini terjatuh.
“Ya
allah,, apa yang sedang terjadi pada ku, kuatkan aku ya allah” ucapku dalam
hati.
Setelah
beberapa jam berlalu, syukur alhamdulillah keadaanku membaik, namun keesokan
harinya kakiku membengkak dan kejadian tadi malam terulang kembali bahkan
semakin parah.
Aku tidak
bisa nafas, seakan tak ada udara yang dapat aku hirup. Semua keluargaku menjadi
panik.
Aku pun
dilarikan ke rumah sakit AIA malam itu juga. Selama dalam perjalanan kondisiku
semakin melemah dan aku terlihat begitu pucat.
“Indah,
kamu yang kuat nak, ada mama disini” ucap mama menangis.
Sementara
mobil tengah melaju dengan cepatnya “ya Allah, inikah akhir dari perjalanan
hidupku, jika engkau ingin memanggilku, aku ikhlas menerima semuanya, kuatkan
keluarga dan sahabat-sahabatku untuk mengikhlaskan kepergianku” ucapku dalam
hati.
Setibanya
di rumah sakit. Oksigenpun dipasangkan dan setelah beberapa jam dilakukan
pemeriksaan oleh dokter.
“Anak
saya kenapa dokter?” ucap mama.
“Mari
kita bicara diruangan saya” ucap dokter.
Keesokan
harinya...
Dengan
penuh rasa penasaran, aku pun menanyakan kepada mama tentang apa yang sedang
terjadi padaku.
“Saya
kenapa ma?” ucapku bertanya kepada mama.
Mama
tidak menjawab.
“Kamu
hanya kelelahan saja, gara-gara kurang tidur jadi Lupusnya kambuh, tapi sudah
membaik kok” ucap ayah menenangkanku.
“indah
yang semanyat ya,, nanti kalau sudah sehat kan bisa main lagi sama
adek-adeknya..” ucap bi emi menyemangatiku.
“gak..
indah gak apa-apa kok.. indah kan kuat” ucap om rudin.
Namun
anehnya aku malah dilarikan ke Surabaya, aku pun bingung.
“Apa yang
sebenarnya terjadi padaku? Tidak mungkin aku baik-baik saja jika sakitnya
menderita seperti ini” pikirku.
Persiapan
untuk berangkat pun segera di siapkan oleh tim medis. Kami pun berangkat
menggunakan sea plane. Selama di pesawat aku sempat kekurangan oksigen tapi
untunglah cepat ditangani oleh dokter.
Ketika
tiba di Bandara Juanda Surabaya, kami langsung di jemput oleh ambulance.
Selama
dalam perjalanan, kondisiku semakin melemah, ku tatap wajah ayah yang panik
melihat kondisiku yang telah pucat. Sementara dokter terus sibuk memusatkan pikirannya
untuk menolongku. Inikah saatnya aku pergi.
Dengan
kondisi yang melemah, aku tak dapat melakukan apa-apa selain hanya berfikir
tentang apa yang sebenarnya terjadi padaku.
Ketika
tiba di Surabaya, aku dibawa ke rumah sakit Premier yang ada di Jalan Nginden Intan Barat Blok B, Nginden Jangkungan,
Sukolilo Surabaya, Jawa Timur.
Disana aku
diperiksa secara keseluruhan, mulai dari pemeriksaan radiology, dan pemeriksaan
lainnya. Dan setelah itu aku pun dibawa ke ruang HCU, semua alat-alat
dipasangkan di tubuhku.
“Tidak
mungkin kalau hanya kelelahan saja penanganannya sampai begini menderitanya”
ucapku dalam hati.
Aku jadi
penasaran dengan apa yang sebenarnya ku alami, “Ternyata mereka menyembunyikannya
dariku” ucapku dalam hati.
“Aku
sakit apa ma?” tanyaku.
Namun
jawaban mereka sama “HANYA KELELAHAN”.
Aku
mencoba mencari tahu, aku pernah membaca sebuah buku tentang penyakit lupus,
aku mencocokkan gejala-gejala yang ku alami saat ini dengan apa yang aku baca
dibuku itu dan akupun mengambil kesimpulan kalau aku mengalami bocor ginjal,
tapi apa benar???
Setelah
beberapa hari aku dirawat di rumah sakit, apa yang mereka sembunyikan pun mulai
terbongkar, ternyata apa yang aku curigai itu benar.
Dan
kebocoran ginjalku ini disebabkan karena lupusku yang kembali menyerangku, ternyata
benar serangannya sangat menakutkan, cengkramannya yang sangat dahsyat hampir
membuatku terjatuh.
Di
Surabaya, untuk ginjalku, aku ditangani oleh Dr. M.Thaha, Sp.PD-KGH, PhD
sedangkan untuk lupusku, aku ditangani oleh Prof. Dr. Joewono Suroso, Sp.PD,
MSc.
Rasa
takut akan hal-hal buruk pun mulai menghantui pikiranku, ya allah, aku tahu ini
cobaan untuk ku, tapi kenapa kau berikan cobaan ini bertubi-tubi, lupusku saja
masih enggan pergi dariku, kini sakit ini yang datang padaku.
Sudah
cukup dengan drama yang telah ada, jangan ditambah lagi dengan naskah-naskah
baru yang tidak aku inginkan.
Ya Allah,
engkaulah yang Maha mengetahui akan apa yang terjadi selanjutnya, engkaulah
yang Maha mengetahui naskah drama kehidupan ini, mudahkanlah peranku dalam
drama kehidupan ini. Ya allah, aku ikhlas menerima semuanya, karena aku tahu
engkau yang Maha bijaksana.
Keesokan
harinya tranfusi darah dilakukan, dengan kondisi yang begitu pucat, aku hanya
mampu memohon dan berharap kepada Allah akan datang pertolonganNya untukku,
raga ini telah lelah, jiwa ini begitu rapuh.
“Ya Allah,
pandanglah hambaMu ini yang tengah ‘menikmati indahnya’ cobaanMu” ucapku.
“Sabar
nak, Indah harus tahu di balik semua ini pasti ada hikmahnya” ucap ayah.
“Indah
kuat hadapi semuanya, masa mau kalah sama penyakit, emang dia siapa bisa
ngalahin Indah, dia bukan siapa-siapa, Indah punya Allah yang akan selalu
membantu Indah, banyak pasien saya yang sakitnya sama seperti Indah, mereka
tetap tegar, tetap semangat, buktinya sampai sekarang mereka mampu hidup
seperti biasanya” ucap dokter Joewono menyemangatiku.
Beberapa
hari kemudian, karena keadaanku mulai membaik aku pun dipindahkan ke kamar
pasien dan dua hari kemudian mama, adik-adik dan tanteku datang menyusul ke
Surabaya. Dan kedatangan mereka ke sini membuat aku merasa bahagia. Aku menjadi
lebih semangat.
Aku tetap
berusaha kuat melewati semuanya, aku jalani hari-hari ini dengan senyuman. Dengan diri yang tak berdaya, aku
masih melanjutkan perjalanan ini. Dengan semangatku yang tak pernah goyah,
cahaya gelap pun kembali membisu.
Karena
cairan-cairan pekat yang terus menerus masuk kedalam tubuhku, membuat tangan
kiriku tempat suntikan infus mulai membengkak, dan terpaksa harus diganti ke
tangan kanan.
Satu
minggu kemudian tangan kananku mulai membengkak lagi, perawat menjadi bingung
dan segera menghubungi Dr. Thaha.
Dr. Thaha
pun menyarankan untuk menggunakan CVC, dan setelah beberapa menit kemudian aku
pun diantarkan untuk dipasangkan CVC.
Aku pun
dibawa masuk ke ruang pulih sadar. Dr. Pesta, spesialis anastesi pun
menjelaskan tentang CVC itu kepada ayah.
Setelah
usai berbicara dengan ayahku, ayah pun hanya bisa menunggu di luar dan dokter
segera menghampiriku.
Jantungku
pun berdegub kencang.
“aku mau
diapakan?” tanyaku dalam hati.
“hallo
nak…!!” sapa dokter.
“hallo…”
jawabku perlahan
“jangan
takut, rileks saja, nanti saya akan memasangnya disini, dan langsung menuju ke
peredaran darah besar…” ucap dokter sambil memegang bahu sebelah kananku.
“CVC ini
fungsinya sama seperti suntikan infus biasa, namun dapat bertahan lama tanpa
harus membengkak dan lebih awet” Jelas dokter
Aku hanya
tersenyum.
“gak akan
sakit, nanti saya akan suntikan bius lokal, jadi tidak akan terasa” jelas
dokter.
Seluruh
alat-alat pun telah disiapkan. Dan aku pun mulai ditutup oleh kain hijau.
Seluruh tubuhku telah tertutup oleh kain hijau itu, kecuali bahu kananku.
“saya
suntik ya, jangan gerak” ucap dokter
Aku pun
memejamkan mataku.
Setelah
beberapa menit…
“oke…
sudah selesai” ucap dokter
Suster
pun membuka kain hijau yang tadinya menutupiku. Dan tersenyum kepadaku sambil berkata.
“tidak
sakit kan…” ucap suster.
Aku pun
tersenyum. Dan suster pun memanggil keluargaku yang sedang menunggu diluar.
***
Tiga
minggu kemudian....
Enam
kantong darah telah masuk dalam tubuhku dan Alhamdulillah keadaanku membaik.
Syukur alhamdulillah
keaadaanku semakin membaik. Dan aku di perbolehkan pulang oleh dokter.
“Keadaan Indah sudah membaik, hari ini Indah
boleh pulang!” ucap dokter.
Aku pun
pulang ke Taliwang, rasa rindu dengan keluarga dan sahabat telah terobati.
Namun tidak sampai lima hari aku mampu bertahan di rumah.
“Ya allah
aku lelah, apa yang harus aku lakukan. Menangis, tapi untuk apa? Marah, tapi
kepada siapa? Putus asa, tapi dosa” ucapku dalam hati.
Entahlah,
yang diketahui hanyalah diri yang harus terus dan terus berjalan. Seakan
berjalan tanpa kaki, melihat tanpa mata, dan menangis pun tanpa suara.
Setelah
lima hari di rumah, di suatu hari saat aku tengah istirahat, tiba-tiba aku
mengalami batuk-batuk, dan batuk itu berlangsung secara terus-menerus hingga
membuat tenggorokanku sakit.
Setelah
beberapa menit, saat aku batuk,
tiba-tiba saat aku meludah, aku terkejut.
“mengapa
bercampur darah?” tanyaku.
“itu
karna kamu keseringan batuk, mungkin tenggorokanmu luka” jawab ayah.
Namun,
lama kemudian kondisiku melemah, dan aku merasakan sesak nafas lagi, semuanya
menjadi panic.
Sebagai
pertolongan pertama, hari itu juga aku langsung dilarikan ke klinik AIA.
Penjalanan
yang meninggalkan kisah-kisah berbagai macam rasa, banyak hal yang menemui dan
ku temui, entah itu pahit ataupun manis, saat pahit menemuiku, aku hanya
mencari manis namun yang aku temui hanyalah pedis, asin, dan asam.
Ketika
tiba di AIA klini, oksigen pun langsung dipasangkan. Orang tuaku pun langsung
menceritakan apa saja yang aku alami saat di rumah tadi.
Dan
dokter pun menjelaskan kepadaku, kalau darah yang keluar tadi itu karena aku
keseringan batuk, jadi tenggorokanku luka.
Terdiam
dan membisu karena aku tak tahu drama apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku
tidak tahu, apakah yang dikatakan oleh dokter itu benar ataukah hanya untuk
menenangkan fikiranku saja.
Keadaanku
semakin melemah, dan malah semakin parah dari sebelumnya.
“Ya allah
kuatkan anakku,, bantulah dia melawan penyakitnya” ucap mama menangis.
Sering
kulihat mama menangis dan entah mengapa aku sangat membenci air mata itu.
“Tenang
ma, kalau kamu sedih Indah jadi ikut sedih” ucap ayah menenangkan mama.
Sementara
kondisiku semakin pucat. Semuanya menjadi panik, aku pun langsung dilarikan ke
Surabaya dan kembali lagi ke rumah sakit itu.
Lagi-lagi
aku harus transfusi darah. Ya Allah, aku tidak tahu dengan cara bagaimana lagi
untuk menahan sakit ini.
Beginikah
jalan hidupku, sampai kapan kaki ini akan berjalan menapaki serpihan-serpihan
kaca yang retak, sampai kapan kaki ini akan berjalan di atas arang-arang yang
panas membara, sampai kapan diri ini
akan menyusuri lorong panjang yang gelap gulita.
“Astaga,,,
cobaan ini datang bertubi-tubi padaku. Masikah ada kesempatan untuk ku merasaakan
indahnya hidup, masihkah ada kesempatan ku untuk menghirup segarnya udaraMu ya
allah. Sampai kapan aku harus menderita karena penyakit ini, sampai kapan ya
allah? apakah akan tetap seperti ini?” ucapku.
“Sabar
nak, jangan patah semangat, Allah Maha mendengar, jangan pernah putus meminta
kepadaNya, jangan pernah lelah memohon padaNya” ucap ayah kepadaku.
Ayah
selalu setia menemaniku,, tak pernah sedikit pun pandangannya lepas dariku.
Kini dua
kantong darah telah masuk dalam tubuhku.
Ruangan
ini rasanya telah akrab dengan tubuhku. Bosan, jenuh hanya itu yang aku rasa.
Aku rindu dengan semuanya, rindu dengan kehidupanku yang dulu, rindu dengan
sahabat-sahabatku, kini aku hanya mampu terbaring lemah, memandang waktu yang
tak mungkin dapat terulang kembali.
“indah
harus semangat.. kalau indah semangat pasti cepatsembuh..” ucap ayah
menyemangatiku.
Kini diri
ini hanya terdiam membisu, bicara bersama air mata, bahkan mungkin aku hampir
lupa bagaimana caranya untuk tersenyum, bagaimana caranya untuk tertawa.
Tiga
minggu aku dirawat di rumah sakit, akhirnya aku diperbolehkan pulang, dan
keadaanku pun semakin membaik, “Alhamdulillah... terima kasih ya Allah, engkau
telah mengabulkan doaku” ucapku.
Aku pun
pulang ke Taliwang dan bertemu dengan keluarga dan sahabat-sahabatku.
***
Seminggu
kemudian aku langsung dihadapi oleh ujian akhir semester II, satu bulan lebih
aku tidak masuk sekolah, aku jadi bingung harus jawab apa di tes nanti. Aku
beruntung, ada Yasni dan Yory yang selalu setia menemaniku, mereka mengajariku
tentang materi-materi yang tidak aku ikuti selama aku sakit. Adalah sedikit
bekalku untuk menjawab soal ulangan besok. Dan Alhamdulillah berkat mereka aku
bisa menjawab soal dan syukurlah aku berhasil melewati ulangan semester dengan
tenang tanpa gangguan lupus.
***
Dua
minggu telah berlalu, dan selama dua minggu itu aku hanya terdiam dirumah, aku
merasa kesepian, sangat kesepian. Tak ada sedikit pun kecerian dalam hati ini,
aku tahu, orang tuaku sangat menyayangiku melebihi apa pun di dunia ini, mereka
selalu ada dan selalu siap mengantarkan aku kemanapun aku mau, meski aku selalu
memiliki apa pun yang aku inginkan. Namun, bukan kehidupan seperti ini yang aku
mau. Aku merasa sendiri, kesepian tanpa ada yang mau mengerti mengapa aku
merasa kesepian.
Aku pun
masuk kedalam kamarku dan bertanya pada hati kecil ini, mengapa aku tidak bisa
seperti mereka di luar sana? Mengapa langkahku harus selalu tertahan? Mengapa
kehidupan ini hanya terdiam membisu? Aku juga ingin hidup bahagia seperti
mereka diluar sana, terbang bebas bagai seekor burung-burung kecil dilangit
luas, meski tubuhnya kecil mungil, namun dia mampu terbang sesuka hati, bebas
mengepakkan sayapnya kemana pun dia mau. Hinggap pada ranting-ranting yang
indah dan menyanyikan nada-nada yang merdu.
Keesokan
harinya,,
Hari
pertamaku masuk sekolah, aku sudah kangen sama taman-teman dan sahabatku. Namun
di hari pertama ini, aku langsung dihadapi oleh sesuatu yang sangat membuat
hati ini rapuh.
“Permisi bu, saya ingin menanyakan masalah
nilai saya selama tidak mengikuti pelajaran. Apakah ada masalah?” tanyaku
kepada wali kelas.
“Nilai
Indah semuanya bagus, namun ibu perlu bicara sama orang tua Indah” jawab ibu.
Setelah
beberapa jam, mama pun datang.
“Maaf
ibu, ada yang ingin saya bicarakan, ini masalah Indah” ucap wali kelas.
“Ya bu,
nilai Indah bermasalah ya?” ucap mama.
“Tidak,
nilai Indah semuanya bagus, kemarin pihak guru sudah membicarakan masalah ini,
dan hasil keputusannya Indah bisa naik kelas namun sebagian guru menyarankan
kepada Indah, alangkah baiknya untuk istirahat dulu satu tahun. Bagaimana
menurut ibu?” ucap wali kelas kepada mama.
“Kalau
saya setuju saja dengan saran ibu, karena itu juga demi kebaikan Indah. Tapi
bagaimana dengan Indah, apakah dia mau?” ucap mama.
Mendengar
kata-kata itu, dengan sekejap senyuman ini hilang, aku terdiam membisu,
terdunduk dan masih tidak percaya dengan apa yang aku dengar.
Ya Allah
aku tahu tak akan engkau biarkan ada luka tanpa penawarnya. Aku juga tahu pipi
ini tak akan engkau biarkan basah tanpa ada kebahagian yang akan menghapusnya..
Tegarkan
aku dalam menghadapi semuanya, kuatkanlah hatiku yang telah rapuh ini. Harus
berapa banyak lagi tetesan air mata yang terjatuh, hingga tangan ini tidak
mampu untuk mengusapnya.
“Bagaimana
Indah?” Tanya ibu kepadaku.
Aku tidak
menjawab, sambil berusaha menahan air mata ini agar tidak terjatuh.
“Bagaimana
nak?” Tanya mama.
Aku tetap
tidak menjawab.
“Kalau
Indah memilih tetap melanjutkan sekolah, itu akan menyusahkan Indah. Kelas XII
itu sangat berat, jadwal belajarnya lebih padat, itu akan membuat kesehatan
Indah makin terganggu, sebaiknya indah istirahat dulu satu tahun untuk
mempersiapkan tenaganya untuk tahun yang akan datang” ucap ibu menjelaskan
kepadaku.
Dengan
sekejap raut wajahku berubah. Sakiiiittt,,, begitu rapuhnya aku saat mendengar
kata-kata itu.
“Semudah
itukah kata-kata itu keluar, tanpa memikirkan perasaanku apakah hatiku tidak
akan terluka, apakah jalanku akan terhenti sampai disini? Jangan pandang aku
lemah, aku juga ingin seperti teman-teman yang lainnya” ucapku dalam hati.
“Seandainya
kita menyetujui keputusan ini dan di tahun yang akan datang dia harus
beradaptasi dengan teman-temannya yang baru, itu akan membuat dia merasa asing,
kasian juga” ucap mama.
“Tapi, kasian juga Indahnya jika belajarnya
harus diporsir, akan memberi pengaruh buruk pada kesehatannya” ucap wali kelas.
“Tapi,
dengan menyuruh Indah untuk Istirahat satu tahun itu juga akan menyiksa dia,
Indah akan merasa kesepian dan dia akan merasa terbebani, justru itu akan
membuat dia stres, dan akhirnya juga berdampak buruk pada kesehatannya” ucap
mama.
“Baiklah
besok saya akan bicarakan masalah ini dengan guru-guru yang lain” ucap wali
kelas.
***
Saat
pembagian rapot tiba…
“Ya
allah, keputusan apa yang harus aku terima, apakah berhenti ataukah tetap
lanjut sekolah??” ucapku panik.
Dan syukurlah,
Maha besar Allah, keputusannya, yaitu aku tetap lanjut sekolah,,
Alhamdulillah,, Allah memang Maha pengasih dan penyayang..
***
Saat
liburan akhir semester,, melihat kondisiku yang masih belum stabil, menjadikan
liburan kali ini begitu hening,, aku nikmati liburan ini hanya dengan berdiam
dirumah. Aku begitu kesepian. Sampai kapan aku harus tetap terpuruk dalam
kesedihanku. Aku lelah jika harus terus menghadapi derita ini.
Ya
Allah,, janganlah engkau biarkan hatiku berputus asa dan mengeluh meragukan
rahmatMu, dalam keheningan ku bersimpuh dan memohon padaMu, mencoba menenangkan
hati ini dengan membuka perlahan lembaran demi lembaran kitab suciMu, ya Allah
tak pernah lelah tangan ini menengadah meminta kepadaMu, tak pernah letih diri
ini bersujud hanya kepadaMu, sinarilah jalan kehidupanku yang kini masih terasa
gelap, tuntunlah langkahku menuju pintu kebahagiaan.
Berhari-hari
menghabiskan waktu libur dirumah, membuat aku sadar, bahwa hidup ini tetap akan
terus berjalan, aku tidak boleh terus berdiam menatap perih ini, buat apa
menangis selama masih ada kesempatan untuk tersenyum, aku sadar di luar sana
masih banyak yang lebih susah dari aku.
***
Beberapa
minggu kemudian…
Rentang
waktu kadang membuat kita lupa akan tiap detik yang telah kita lalui, membuat
ku sadar dan lebih menghargai waktu walaupun itu hanya sedetik.
Saat itu
tanggal 5 Juli 2014, bertepatan dengan bulan suci ramadhan, tidak terasa kini
aku semakin dewasa. Di hari ulang tahunku ini aku berharap akan datang
kebahagiaanku dan aku bisa bebas dari lupus itu. Bertahan melawan perih ini
yang hanya seorang diri. Aku lelah selalu dihantui oleh cengkraman-cengkraman
yang hampir merenggut paksa jiwaku pergi.
Namun, di
hari ulang tahunku ini aku bahagia, melihat perhatian orang tuaku yang begitu
besar kepadaku. Kehangatan kasih sayang yang tak pernah putus selalu aku
rasakan.
Di hari
yang istimewa aku mendapatkan kado istimewa dari orang yang istimewa. Buat
Yong, makasih atas kado istimewanya. Aku tidak tahu harus mengatakan apa kepada
mu, makasih karna sudah membuat aku tersenyum. Makasih juga karena sudah mau
menjadi senyuman di hidupku.
Buat Ojha
dan adik-adik ku, makasih ya atas kadonya.
“HBD ya
buat sahabatku tersayang, semoga sehat selalu, panjang umur, bahagia selalu dan
semoga cepat sembuh ya sahabatku tersayang. Maaf aku Cuma bisa kasih kado yang
kecil tapi kamu harus bangga, karena kamu adalah orang pertama yang mendapatkan
kado dari saya. Ini adalah boneka kesayangan ku, aku kasih ke kamu, jaga baik-baik
ya, namanya unyu-unyu” ucap Ojha.
“Selamat
ulang tahun kakak, semoga panjang umur dan sehat selalu, amin” ucap
adik-adikku.
Meski
masih hidup dalam kegelapan, aku akan tetap bertahan, karena aku telah
menemukan remang-remang dan aku yakin suatu saat nanti akan ada cahaya terang
yang akan menyinari hidupku, dan akan mengusir sakit ini.
AMIN YA ROBBAL ALAMIN.
***
Manusia di Kegelapan
-Nur Indah Kurniasari-
Saat malam menyapa
Berjalan perlahan
meraih cahaya
Ku temukan
remang-remang
kemudian kembali
gelap
Berjuta langkah ku
lalui
kemana sebenarnya
langkah ku
arahnya tak mampu
ku sangka
sedetik lengah aku dibuat jatuh
sedetik lengah aku dibuat jatuh
Tuhan
Tak pernah letih
hati ini memanggil namaMu
Menyebut
asma-asmaMu
Dan mengharap
rahmatMu
Tuhan
lorong ini memang masih gulita
hanya hati ini penunjuk jalan
hingga gelap diusir cahaya
lorong ini memang masih gulita
hanya hati ini penunjuk jalan
hingga gelap diusir cahaya
Tuhan
Tangan ini
senantiasa menengadah
Raga ini
senantiasa bersimpuh
Hanya kepadaMu
semata
Tuhan
Tuntunlah aku
menuju cahayaMu
Temani aku hingga
cahaya itu sampai di genggamanku
Jangan engkau biarkan gelap ini menelanku
Puisi mu membuat air mata ini membasahi pipi ku. Indah seorg gadis kecil yg mempunyai kemampaun menulis yg luar biasa. Goresan tangan mu membuat yg membacanya megerti apa yg engkau rasakan. Kau telah menulis dengan hati mu. Allah selalu bersama mu. Engkat telah bercerita begitu luar biasanya pengorbanan seorg ibu dan ayah. Mrk adalah org tua yg luar biasa. Salam saya buat org tua Indah yg sdh menjadi org tua terbaik buat anak2nya. Salam saya buat sahabat mu yg mrk sdh menjadi bagian dalam hidup mu, serta salam saya buat keluarga mu yg telah menjadi penyemangat dlm hidup mu. Mrk adalah org yg terbaik yg selalu menemani hari2 mu. Skrg dirimu sdh damai dan tersenyum disisi Nya. Doa mu Insyaallah diijabah oleh Nya. Dan doa kami buat mu selalu yg terbaik. Salam MJ
BalasHapusMembaca kisahmu aku cair secairnya walaupun tdk mengenalmu,kau Anak baik luar biasa yg jg cerdas terlihat dr cara menguntai kata kata yg sarat makna,msh muda namun cerita dan deritamu memberi pembelajaran hidup bg kita semua smoga Allah SWT menempatknmu disurga Nya yg paling indah sesuai dgn namamu.Aamiin.salam ernaeka
BalasHapusHaaah entahlah sya tidak bisa berbicara bnyak lgi,saya hnya bisa menyimpulkan kenangan,dan menyisihkan lembar memori untuk di simpan,ingin sekali rasanya bisa mengenggam tnganmu lgi,bersenda gurau dnganmu,melihat hiasan senyuman mu raut wajah cemberutmu,tpi apa daya yg kuinginkan hnya bisa sebatas angan angan,hnya bisa tertutup dlm sebuah perasaan yg entah kapan itu semua bisa kurasakan kembali,,rindu ini mencekam,menusuk tpi takkan pernah bisa terobati takkan pernah bisa,mimpi dan terbanglah jauh semoga aku bisa melihat semua dalm mimpi yg hiasi bunga tidurku Nur Indah
BalasHapus