Gelap Dalam Kegelapan
Meraih cahaya adalah
impian setiap orang untuk mendampatkan sebuah senyuman dan menggenggam suatu
kebahagiaan. Karena cahaya mampu mengusir gelap yang telah menyelimuti luka dan
derita.
Bagiku kegelapan bukanlah
sekejap mata yang terpejam, bukanlah sekilas tiupan angin yang berlalu, tapi
adalah sebuah perjalanan panjang yang begitu
melelahkan.
LUPUS adalah kegelapanku,
dan gelap itu adalah misteri dalam hidupku, yang tak pernah ku tahu bagaimana
akan akhirnya nanti.
Dalam kisahku, dia adalah
sosok gelap yang selalu berperan sebagai selimut deritaku.
Kadang dia tebal hingga
membuat aku kesulitan untuk bernafas, kadang dia tipis sehingga membuatku
merasa kedinginan. Tapi tak pernah ingin lepas dari tubuh ini. Selalu saja
menyelimutiku, tak pernah perduli jika aku merasa kegerahan.
Sudah lima tahun aku
berjalan bersama lupus, tapi masih saja aku bingung dengan keinginannya.
Tak aku turuti dia
mengamuk, aku turuti pun dia mengamuk, tak jelas. Masih saja menggangguku.
Mencengkram dari mana saja, sesuka hati menerorku.
***
Juli 2014…
Saat ini
bulan suci ramadhan dan tidak terasa tinggal sebentar lagi kita akan memasuki
hari raya idul fitri.
Setelah beberapa
minggu, di malam takbiran.
Awalnya
aku baik-baik saja, kami pun takbir bersama, setelah hari sudah malam kami pun
tidur, dalam kesunyian, saat tengah malam tiba, aku tak dapat bernafas, aku pun
terbangun dan ku bangunkan adikku yang tengah tertidur pulas.
“adek…”
ucapku membangunkan adek.
Adekku
pun terbangun dan segera membangunkan ayah.
“astaga..
kakak tunggu sebentar ya…” ucap adek
Ayah pun
datang menemuiku dan langsung menyuruhku untuk duduk.
“dicoba
duduk dulu nak..” ucap ayah.
Namun aku
tetap tak dapat bernafas, tapi setelah beberapa jam sesaknya pun mulai
berkurang. Dan aku pun melanjutkan tidurku sambil duduk.
Keesokan
paginya. Hari raya idul fitri pun tiba, keaadaanku semakin lama semakin
membaik,, Alhamdulillah,, tanpa ku sadari, ternyata Allah telah memperlihatkan
rahmatNya, begitu besar kuasaMu ya Allah, kini aku akan tetap bersyukur dengan
apa yang aku dapatkan.
***
Dua hari
kemudian…
Disuatu malam yang dingin membuatku tak dapat
tidur nyenyak. Suasana yang semakin sepi dan sunyi seakan membuat aku merasa
sendiri.
Di
sepertiga malam, semakin lama aku pun semakin gelisah.
“Ada apa
ini? Mengapa jantungku berdebar kencang?” ucapku dalam hati.
Semakin
kencang jantungku berdebar membuat aku semakin merasa takut. Aku pun membangunkan
adikku yang tengah tidur pulas di sampingku.
“adek….!!!”
Ucapku berbisik
“adek…..!!!!!”
ucapku sekali lagi.
Namun, adekku
tidak mendengar panggilanku.
“ya
sudah, aku tidur saja, mungkin ini hanya perasaanku saja” ucapku dalam hati.
Dan aku
pun melanjutkan tidurku. Namun, aku masih saja gelisah.
Aku pun
mulai merasakan sesak nafas lagi, semakin lama, aku semakin merasa kekurangan
oksigen, semakin kurang dan semakin kurang.
“ya
Allah,, beginikah jalan hidupku,, selalu saja senyuman ini di hapus oleh air
mata yang terus membasahi hatiku,, kuatkan aku dalam menjalani cobaanMu,, bantu
hambaMu ini yang tengah lemah kesakitan”
Sesekali
pandanganku terasa gelap. Dan aku pun mencoba membangunkan adikku lagi.
“Adek…..!!!!”
ucapku.
Namun,
adek masih saja tertidur pulas.
“Mungkin
dia kelelahan” ucapku dalam hati.
Semakin
lama, aku semakin kekurangan banyak oksigen.
“bagaimana
ini, aku sudah tidak kuat lagi ya Allah, bantu aku, kemana larinya
udara-udaraMu ya Allah, beginikah caraku untuk kembali kepadaMu. Aku harus
kuat” ucapku dalam hati.
Semakin
susah untuk bernafas membuat aku semakin panik, tak ada yang dapat aku lakukan
selain berdoa mengharap pertolongan Allah. Air mataku pun mulai membasahi pipi
ini.
“aku… tak
akan pernah berhenti disini, aku pasti kuat” ucapku dalam hati.
Sejak
saat itu aku tak bisa tidur, lantaran rasa sesak yang ku rasakan, hingga
akhirnya, suara kokok ayam pun mulai terdengar. Matahari pun mulai menyinari.
“Alhamdulillah
sudah pagi” ucapku dalam hati.
Dan
adikku pun bangun. Dia terkejut karena melihat aku begitu lemas tidak berdaya
yang tengah kesulitan untuk bernafas, wajahku pun pucat membuat dia panik dan
berteriak.
“mamaaaaaa….!!!!!”
Teriak adek.
Dengan
segera, mama berlari menuju kamarku dan dibukalah pintu kamarku.
“astagaaaa…
kamu kenapa nak?” ucap mama menangis.
“bernafas pelan-pelan nak…!!!” ucap mama
kepadaku sambil mengelus-elus punggungku.
Setelah
beberapa menit kemudian aku pun membaik.
“tolong jagain
kakakmu ya..!!! mama mau pergi sebentar” ucap mama kepada adikku.
“ya ma….”
Jawab adik.
Adikku
selalu setia menemaniku, menjagaku sepenuh hati.
Aku pun
mencoba menenangkan diri. Tapi sesak nafas ini semakin lama semakin hebat. Aku
dibuatnya lemah, aku pun tak sangkup untuk mengatakan apa-apa. Untuk
menggerakkan tubuhku pun aku sudah tidak kuat lagi.
Aku pun
merasakan sesak nafas yang begitu dahsyat dan adikku menjadi panik dan
memanggil mama.
“mamaaaaaaa….!!!!!”
Ucap adik.
“kalau
begini terus, kakak tidak kuat, kakak harus segera di tolong, apa tidak
sebaiknya kita bawa ke rumah sakit, kakak harus segera mendapatkan bantuan
oksigen” ucap adek.
“ini
pasti ulah lupus itu, maunya dia apa sih? Telah letih raga ini disakitinya,
telah perih jiwa ini dilukainya. Enyahlah kau dari hidupku, tak pernah sedikit
pun aku mengharapkan keberadaanmu di hidup ini” pikirku.
Aku tak
akan pernah menyerah, aku akan berusaha memahami dan akan terus berfikir, bila
aku harus berjalan meraih cahaya dalam kegelapan, aku pasti sanggup, asalkan
dia si lupus itu tidak membuat onar.
Apakah
tidak bisa untuknya hanya terdiam membisu memandang perjalananku tanpa harus
ikut campur dalam perjalanku.
Melihat
kondisiku yang tengah lemah tidak berdaya dan aku terlihat begitu pucat, mama
pun segera menelpon ayah yang saat itu tengah bekerja.
Dan
setelah itu mama meminta bantuan kepada saudaranya untuk membawaku ke rumah
sakit umum.
Selama
dalam perjalanan, ku tatap wajah mama yang telah basah oleh air matanya yang
terus mengalir di pipinya, karena tak sanggup melihat anaknya yang hanya
terdiam tanpa kata, ingin aku menghapus air mata itu, tapi saat ini aku tengah
lemah, tak ada yang dapat aku lakukan selain hanya hati dan mata ini yang dapat berkata.
“ya Allah
hamba telah lemah, aku sudah tidak kuat lagi, mungkinkah ini panggilanmu?
Apakah ini jalanku untuk kembali kepadamu. Mama….. usap air matamu, tataplah
anakmu yang telah tak berdaya ini, peluk erat tubuh ini sepuas hatimu dan
rasakan detak jantungku, karena mungkin engkau tidak akan pernah melakukan dan
merasakannya lagi. Hentikanlah tangismu dan ciptakan senyuman manis untuk
melepas kepergianku” ucapku dalam hati.
Ketika
sampai di rumah sakit, aku pun segera dilarikan ke UGD, dan oksigen pun telah
dipasangkan.
Aku masih
tetap susah untuk bernafas.
Beberapa
menit kemudian. Alhamdulillah… Keadaanku pun sudah tidak separah tadi.
Setelah
di periksa oleh dokter umum, karena aku memiliki riwayat penyakit lupus, aku
pun disarankan untuk langsung dirujuk ke rumah sakit tempat biasa aku dirawat
dan segera bertemu dengan dokter yang khusus menangani aku.
***
Mama pun
kembali mengabari tentang kondisiku kepada ayah.
Dan untuk
pertolongan pertama, ayah menyuruh untuk membawaku ke klinik AIA saja, karena
disana ada dokter yang biasa menangani aku, yaitu Dr. Gleen dan Dr. Anneke
Samuel.
Setelah
beberapa jam di rumah sakit umum, aku pun dibawa ke AIA klinik, menggunakan
ambulance dan yang menemani aku saat itu, yaitu kakak Zul dan mama yang selalu setia mendampingiku.
Diatas
ambulan aku muntah-muntah, lemas tiada berdaya dipangkuan kakak Zul.
“indah…
kamu harus kuat” bisik kakak Zul
Selama
dalam perjalanan, rasa penasaran ini tak pernah ingin berhenti menghantui
fikiranku, apa yang sebenarnya terjadi padaku? aku lelah jika harus terus
tersenyum dalam kesedihan.
Ketika
tiba di AIA klinik, aku pun langsung di periksa oleh dokter, sementara oksigen
tak pernah lepas dariku.
***
Keesokan
paginya, ayah pun datang menemuiku.
“hari
ini, Indah, mama dan dokter akan berangkat ke Surabaya?” ucap ayah.
Aku pun
hanya mengangguk dan tersenyum.
Seluruh
persiapan telah di persiapkan oleh tim medis. Saat itu ayah tidak ikut
membawaku ke Surabaya, ayah hanya bisa berdiri melihat keberangkatanku.
Raut
wajah sedih terpancar dari muka ayah dan mama yang sedang menatap anaknya yang
telah terkujur lemah di atas tempat tidur kini telah diangkat dari ambulance
menuju pesawat.
Dengan
tubuh yang telah diselimuti oleh sebuah kain kecil dan alat bantu pernapasan
yang selalu ada diwajahku membuat tetesan air mata mereka pun mulai terjatuh.
Kami pun berangkat
menggunakan sea plane.
Selama di
pesawat aku sempat merasakan sesak nafas, oksigen yang diberikan seakan tak ada
fungsinya untukku, namun, syukurlah dokter segera menanganiku.
Setelah
tiba di Bandara Juanda Surabaya, kami langsung dijemput oleh ambulance.
Ambulance
melaju dengan kencangnya dan suasana semakin haru oleh suara sirine yang terus
menyala.
Pandangan
mama tak pernah lepas kepadaku. Ingin rasanya aku memeluk mama, ingin aku
menghilangkan rasa kesedihannya itu.
Setelah
beberapa menit kemudian, kami pun tiba di rumah sakit premier Surabaya. Dan aku
langsung dilarikan ke UGD.
Setelah
lama diperiksa oleh Dr. Herlambang. Dokter pun memberitahukan hasil
pemeriksaannya kepada mama dan memberikan beberapa surat yang harus ditanda
tangani yang aku tidak tahu apa isi surat itu.
Setelah
beberapa menit menunggu di UGD, aku pun dibawa ke ruang HCU. Namun belum bisa
satu hari aku di ruang HCU, aku langsung dipindahkan ke ruang ICU.
Saat itu
aku sudah tidak tahu lagi mau di apakan, aku sudah pasrah, karena aku sudah
tidak sanggup berbuat apa-apa, tubuh ini telah lelah dan lemah.
Ketika
tiba di ruang ICU, seluruh alat-alat medis pun di pasangkan.
Begitu
banyak alat-alat yang menempel di tubuhku, mulai dari alat bantu pernapasan
hingga alat-alat lain yang aku sendiri tidak tahu fungsinya untuk apa.
Dr.
Hardiono, kepala ICU, datang menemuiku.
“ibu
perkenalkan saya Dr. Hardiono, sebagai kepala di ruang ICU ini”
Diruang
ICU, penjagaannya begitu ketat, tidak ada orang sembarangan yang boleh masuk,
mama pun hanya bisa menjaga dan menungguku dari luar, hanya boleh masuk apabila
jam membesuk telah tiba.
Keesokan
harinya..
Di suatu
pagi, Dr. M. Thaha, Sp.PD-KGH, PhD datang menemuiku.
“pagi
Indah….!!” Sapa dokter
“pagi
dokter….!!” Jawabku
“loh kok
balik lagi? Kenapa?” Tanya dokter sambil memeriksaku.
Aku pun
hanya tersenyum
Saat
siang tiba, Prof. Dr. Joewono Suroso, Sp.PD, MSc datang menemuiku.
“selamat
siang Indah…!!! Malah balik lagi ini” sapa dokter sambil memeriksaku.
“siang
dokter..!!” jawabku tersenyum
Setelah
itu, Dr. Purnomo, spesialis pancreas dan Dr. Evy Febriane, Sp.Jp, aku jadi penasaran, kenapa dokter yang menangani
aku kali ini begitu banyak?
Awalnya
mama menyembunyikannya dariku. Tapi akhirnya aku pun menjadi tahu, kalau Dr. Purnomo
itu adalah dokter pangkreasku dan Dr. Evy, itu adalah dokter jantungku.
“Jadi,
aku sakit jantung ma?” tanyaku kepada mama.
“akibat
penyakit lupusmu nak, jantung dan pangkreasmu jadi terganggu” jelas mama.
“apa sih
maunya lupus itu? Selalu saja mengganggu hidupku, apakah masih belum puas dia
menyerang ginjalku, kini dia menyerang pangkreas dan jantungku. Ya Allah,
seberapa besar lagi cobaan yang akan datang kepada hambamu ini. Kuatkan aku
dalam melewatinya” ucapku dalam hati.
Air mata
pun mulai keluar dari persembunyiannya. Berusaha membasahi pipi yang belum
sempat kering oleh hujan kemarin, kini telah dibasahi lagi oleh hujan hari ini.
Namun, aku segera menghapusnya.
“mama
tidak boleh melihat aku menangis…” ucapku sambil menghapus air mataku.
Di suatu
malam, mama di panggil oleh Dr. Hardiono untuk membicarakan sesuatu. Aku tidak
tahu apa yang mereka bicarakan, dan mama segera menelpon ayah dan menyuruh ayahku segera datang.
Ayah
segera membeli tiket pesawat untuk segera berangkat. Dan malam itu juga ayah
berangkat ke Surabaya.
Setelah
beberapa jam, ayah pun tiba di Surabaya.
Dan
keesokan harinya saat jam besuk tiba. Mama masuk ke ruang ICU menemuiku, namun
aku masih tertidur, saat mata ku terbuka, aku melihat ayah yang telah berdiri
dihadapanku.
“apakah
aku bermimpi?” ucapku dalam hati.
“ayah
kapan datang?” tanyaku.
“tadi
subuh sampai sini..” jawab ayah.
Waktu
yang telah diberikan untuk membesuk ayah dan mama manfaatkan dengan
sebaik-baiknya.
“ma..
kalau malam, mama dan ayah tidur dimana?” tanyaku.
“ada kok
diruang tunggu” jawab ayah
“diatas
kursi?” tanyaku
“kalau
Indah cari mama dan ayah, bilang saja sama susternya, kita ada di depan kok”
jawab mama.
Serentak
aku pun terdiam, kasian orang tuaku, mereka sampai rela tidur di kursi hanya
demi menjaga anaknya ini yang kadang tak pernah mendengar ucapan-ucapan yang
keluar dari mulut mereka.
Ingin aku
menangis, namun tak akan ku biarkan air mata ini terjatuh. Mataku pun mulai
memerah yang basah oleh air mata ini.
“Indah
kenapa nangis” Tanya mama
“emmm…
ngantuk ma?” jawabku sambil tersenyum
“maaf
untuk kali ini aku terpaksa berbohong kepada kalian, karena aku bingung mau
jawab apa” ucapku dalam hati
Tidak
terasa dua jam telah berlalu. Dan jam besuk pun telah habis, ayah dan mama pun
beranjak keluar dari ruanganku.
Begitulah
seterusnya yang mereka lakukan selama aku dirawat di ruang ICU.
Saat
malam tiba, aku teringat akan ayah dan mama yang tengah menungguku diluar.
Tubuh-tubuh
yang telah merawatku dan menyayangiku sepenuh hati, sungguh tak akan pantas
jika harus berbaring, tertidur di atas kursi-kursi di ruang sana.
Dengan
suasana yang begitu dingin menyentuh tubuh-tubuh mereka, tanpa dihangati oleh
sebuah selimut, membuat aku semakin tidak tega membayanginya.
“ya
Allah, jangan engkau biarkan orang tuaku, kedinginan diluar sana” ucapku.
Malam
semakin larut, aku semakin tidak bisa tidur tenang.
“apa yang
sedang dilakukan oleh ayah dan mamaku di luar sana. Aku harus sembuh, demi ayah
dan mama yang telah rela kesakitan demi anaknya, semangat Indah” pikirku.
***
Di waktu
siang tiba, para dokter yang menangani aku mengadakan rapat bersama ayah dan
mama. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan.
Keesokan
harinya, Dr. Pudjo, Spesialis anastesi pun datang menemuiku.
“selamat
pagi nak” ucap dokter
“pagi
dokter” jawabku
“saya
akan memasangkan CVC untuk saluran infus yang lebih besar, agar langsung menuju
ke peredaran darah besar dan agar lebih awet, saya akan memasangnya disini..” jelas
dokter sambil menunjuk bahu sebelah kananku.
“dan saya
juga akan memasang doplument, yaitu saluran untuk cuci darah atau dalam bahasa
kedokterannya yaitu HD (Hemodelisa) di sini…” ucap dokter sambil menunjuk paha
sebelah kananku.
Aku hanya
terdiam.
“gak akan
sakit, nanti saya akan suntikan bius lokal” jelas dokter.
“oke…!!”
jawabku sambil sersenyum.
Seluruh
alat-alat pun telah disiapkan. Dan aku pun telah ditutup oleh kain hijau.
Setelah
telah dipasangkan, tinggal satu alat lagi yang akan dipasangkan yaitu, NGT,
(saluran yang akan dimasukan melalui hidung yang langsung menuju ke lambung
untuk memasukan makanan/sonde).
Setelah
beberapa menit, akhirnya selesai juga.
Keesokan
harinya, aku menjalani pemeriksaan ECO, dan di siang harinya aku menjalani HD.
Ini untuk
pertama kalinya aku cuci darah, alat-alat untuk cuci darah pun telah disiapkan.
Dan setelah semua alat telah selesai disiapkan, HD pun segera dilakukan.
Beberapa
menit kemudian darahku pun dikeluarkan dan dimasukan kembali melalui saluran
yang telah dipasangkan dipaha kananku.
“jadi,
proses cuci darah itu seperti ini caranya..!!” pikirku.
Empat jam
telah berlalu, proses cuci darah pun telah selesai.
***
Dua hari
yang kemudian, saatnya cuci darah kedua. Dan setelah empat jam berlalu, proses
cuci darah pun selesai.
Cuci
darah kedua membawakan hasil yang bagus, keadaanku pun lebih baik daripada awal
saat masuk rumah sakit.
Hari ini ayah harus pulang ke Taliwang, karena
ayah ambil izinnya hanya beberapa hari.
Ayah pun
menyium keningku, dan melangkah meninggalkan ruang tempat aku dirawat, mama pun
mengantar ayah sampai luar.
Beberapa
jam kemudian…
Ayah pun
berangkat.
Saat
malam tiba, disaat aku tengah terlelap dalam tidurku. Keadaanku tiba-tiba
menurun dan suster segera memanggil mamaku yang sedang menunggu di luar.
“kepada
keluarga Nur Indah?” panggil suster.
“ya…” ucap mama sambil berlari masuk.
Tanpa
ditemani oleh ayah dan hanya seorang diri, mama pun menjadi panik dan tidak
tahu harus berbuat apa.
***
Setelah
beberapa jam di perjalanan, ayah pun sampai di Taliwang.
Ketika
sesampainya dirumah, baru saja ayah meletakan barang-barangnya, tiba-tiba HP
ayah bordering. Dan ternyata mama yang menelpon.
Dalam
percakapan mereka, ternyata mama menyuruh ayah untuk segera datang ke Surabaya.
Lantaran mama tidak sanggup jika harus seorang diri menatap anaknya yang telah
lemah.
Mama mengabari
ayah, kalau keadaanku yang semakin menurun.
Dengan
segera ayah pun kembali lagi ke Surabaya. Dan setelah beberapa jam diperjalanan
ayah pun tiba di Surabaya.
Mama pun
legah karena ayah telah berada disampingnya.
***
Keesokan
paginya, aku pun harus transfusi darah, karena Hb (Hemoglobinku) rendah dan aku
terlihat pucat.
Setelah
transfusi selesai, aku sudah tidak terlihat pucat lagi.
Saat jam
besuk tiba. Ayah dan mama datang menemuiku.
“loh ayah
belom pulang?” tanyaku
“sudah
pulang, tapi balik lagi, karena kangen sama Indah” ucap ayah.
Aku pun
tersenyum.
“Indah
harus semangat, harus kuat, jangan mau kalah sama penyakit..!!!” ucap mama
menyemangatiku.
***
Keesokan
malamnya.
Saat aku
tengah terlelap, aku merasa malam ini begitu panjang.
Dari luar
ruangan ICU, terdengar suara sirine yang begitu mengerikan.
Ayahku
pun terbangun dan takut terjadi sesuatu kepadaku.
Para
dokter pun seegera berlari menuju ruang tempat aku dirawat, dengan raut wajah
mereka yang penuh kekhawatiran sambil memasukkan tangannya ke dalam sarung
tangan putih itu, membuat kekhawatiran ayah semakin besar.
Beberapa
menit kemudian, suster pun keluar memanggil ayah.
“Keluarga
Nur Indaaah pasien kritis” panggil suster.
Ayah
menjadi panik dan segera membangunkan mama yang saat itu tengah tertidur di
atas kursi.
“ma… ma…
Indah ma…” ucap ayah membangunkan mama.
Sambil
terkejut, mama pun terbangun dan mereka pun segera berlari menuju ruanganku.
Ketika pintu ruangan ICU itu di buka, mata mereka
langsung terpusat pada anaknya.
Dilihatlah
para dokter dan perawat yang tengah sibuk dengan tugasnya masing-masing, sambil
mengelilingi anak pertama mereka.
Perlahan
ayah dan mama pun melangkah mendekati ranjang tempat dimana anaknya berbaring.
Dilihatlah
pada monitor itu, detak jantung anaknya tidak terdeteksi. Ayah mulai terdiam
membisu, pandangannya kosong, detak jantungnya seakan berhenti dan darahnya pun
seakan membeku.
Ayah pun
memegang kaki anaknya. Namun, dokter masih belum mengijinkan ayah dan mama
untuk menyentuhku.
Ditataplah
anaknya yang telah terselimuti oleh kain putih itu, kini tengah terpejam dan
tak bergerak sedikitpun.
Gerak
tangan-tangan dokter yang kini sedang berusaha memompa jantung anaknya dan
lincah tangan para perawat memegang alat bantu pernapasan itu.
Genggaman
tangan mama menggenggam erat tangan ayah, seakan berkata, tak ingin anaknya
pergi meninggalkannya.
“Indah…….” Ucap mama sambil menangis.
Ayah pun
memeluk erat tubuh mama, yang tengah lemah tak berdaya. Air mata pun terjatuh
dari pipi mama yang kini mulai basah dan semakin basah.
“tenang
ma… jangan berhenti berdoa, semoga saja ada keajaiban dari Allah” ucap ayah
menenangkan mama.
Dengan berdiri
yang hanya bisa memandang anaknya. Sambil melihat para dokter berusaha sekuat
mungkin. Tak putus mereka berdoa kepada Allah.
Sedangkan
saat itu yang aku rasakan hanyalah aku yang sedang pergi jauuuuuhhh, sejauh
mungkin.
Sementara
dokter masih saja berusaha memompa jantungku.
Pompa
pertama. Mataku masih saja tertutup, tidak bergerak dan detak jantuku tidak
terdeteksi.
Dokter
pun mencoba pompa ke dua kalinya.
Namun,
masih saja, tidak ada perubahan. Tak ada respon sedikitpun dariku.
Orang
tuaku pun menjadi lemah. Seakan berdiripun tak sanggup.
“Indah….”
Ucap mama menangis.
“Indah…
Indah bangun nak…” ucap mama.
“tenang
ma,,” ucap ayah sambil memeluk mama.
Dokter
pun mencobanya lagi, pompa ke tiga kalinya.
Dan
Alhamdulillah, aku memberi respon positif, detak jantungku mulai terdeteksi. Dokter
pun segera melakukan penanganan selanjutnya.
“Alhamdulillah…”
ucap orang tuaku.
Ayah dan
mama pun mendekatiku.
“Indah…
Indah..” ucap mama sambil memegang tanganku.
Mataku
pun terbuka.
“mama…”
ucapku.
“apa yang
sakit nak? Apa yang Indah rasakan?” Tanya ayah
“susah
nafas..” jawabku.
Namun,
ayah dan mama tidak mengerti dengan apa yang aku katakan, lantaran masker
oksigen yang masih menutupi mulutku.
“ya
sudah,, Indah yang kuat ya nak… jangan banyak bicara dulu” ucap mama
“kamu
yang kuat nak,, bertahan,, disini ayah dan mama selalu mendoakanmu” ucap ayah
Begitulah
cerita ayah, yang terjadi kepadaku selama aku tidak sadarkan diri.
***
Tiga hari
kemudian, keadaanku mulai membaik, dan semakin lama semakin membaik.
Hari ini,
mama harus pulang dulu ke Taliwang, mama harus mengajar, izinnya mama sudah
habis.
Mama pun
pulang ke Taliwang dan kini aku hanya ditemani oleh ayah.
Dua hari
kemudian, bi emi, om rudin dan anak-anaknya berangkat dari Taliwang menuju
Surabaya.
Setelah
beberapa jam di perjalanan, mereka pun tiba di Surabaya.
Saat om
Rudin dan bi Emi datang menemuiku.
“Indah
yang semangat ya,, biar cepat sembuh,, nanti bisa main lagi deh sama
adik-adiknya” ucap bi emi menyemangatiku
“Indah
kuat,, pasti kuat,, jangan mau kalah sama penyakit,, nanti kalau sudah sembuh
om ajak jalan-jalan” ucap om rudin
Aku pun
menjadi lebih semangat, aku gak boleh kalah sama penyakit ini.
Setelah
lama berbicara, om rudin dan bi emi pun keluar dari ruanganku.
Dan
keesokan harinya…
Tidak
terasa sudah dua minggu aku dirawat di ruang ICU.
Aku
kangen sama keluarga dan teman-teman yang ada di Taliwang.
Aku pun
dipindahkan ke kamar pasien. Dan syukurlah kamarnya disediakan tempat tidur
untuk penunggu pasien.
“Alhamdulillah,,
ayahku sudah tidak harus tidur di atas kursi lagi dan aku tidak jauh-jauh lagi
sama ayah” ucapku dalam hati.
***
Beberapa
hari kemudian…
“Indah
saatnya HD,, kita antar ke ruang HD ya” ucap suster sambil mendorong ranjangku
keluar kamar menuju ruang HD.
“cuci
darah lagi?” tanyaku dalam hati.
Ketika
sampai diruang HD, sapa para petugas HD menyambutku dengan ramah.
“hallo
Indah…” ucap salah satu petugas HD
“hai...
Indah,, udah seger sekarang, gak lemes kayak waktu di ruang ICU” ucap petugas
lainnya
“hallo..”
jawabku menyapa mereka sambil tersenyum
Empat jam
telah berlalu, proses cuci darah pun telah selesai, dan kini saatnya untuk
kembali lagi ke kamarku.
Keadaanku
pun semakin lama, semakin membaik.
Setiap
hari keadaanku di control oleh dokter. Bahkan tak jarang sampel darahku terus
di ambil untuk di uji di labolaturium.
Dua hari
kemudian, aku terlihat pucat dan setelah diperiksa ternyata aku kekurangan
hemoglobin dan harus transfusi darah.
Transfusi
pun dilakukan. Dan setelah beberapa jam kemudian keadaanku pun kembali membaik.
Beberapa
hari kemudian…
“Indah,,
kami antar ke ruang HD ya…” ucap suster
“cuci
darah lagi????” tanyaku
“ya Dr.
Thaha menyarankan untuk cuci darah lagi, biar hasilnya bagus dan Indah cepat
sembuh” ucap ayah
“sampai
kapan??” tanyaku
“kurang
tahu,, nanti Indah Tanya sendiri saja ke dokternya” jawab suster sambil
mendorong ranjangku menuju ruang HD.
Setelah
empat jam menunggu, proses cuci darah pun selesai. Dan aku kembali lagi ke
kamarku.
“daaa
Indah… yang semangat ya… harus kuat” ucap petugas HD
“ya..
trima kasih ya” ucapku
“apakah akan seterusnya aku akan cuci
darah???” tanyaku kepada ayah
“ayah belum tahu nak.. kata dokter ada
kemungkinann untuk selamanya dan bisa juga tidak” jawab ayah
Wajahku
pun berubah drastis saat mendengar kata-kata itu. Aku pun terdiam.
“semuanya
jawabannya ada di Indah sendiri, kalau Indah semangat, rajin minum obat dan ada
kemauan untuk sembuh, pasti gak akan cuci darah lagi, untuk sekarang ini
keadaan fungsi ginjalmu belum stabil, makanya dokter menyarankan untuk
melakukan cuci darah, yang membuat ginjal Indah belum stabil itu karena
lupusnya yang masih aktif, nah sekarang Indah harus buat bagaimana caranya agar
lupus itu tidak aktif lagi” ucap ayah menjelaskan kepadaku.
“Lupus,,
lagi-lagi lupus dan lupus, selalu saja dia yang menaruh pahitnya deritaku,
sampai kapan dia akan menyakitiku, setia menemani namun malah mengubah cerah
menjadi kegelapan, seakan menusukku dari belakang. Semoga saja gak akan cuci
darah selamanya” ucapku dalam hati.
Dua hari
kemudian.
“Indah…”
ucap suster tersenyum kepadaku
“ya..”
jawabku tersenyum
“waktunya
HD lagi” ucap suster
Senyumku
pun berubah dengan sekejap.
Begitulah
kegiatanku, aku harus cuci darah dua kali dalam satu minggu. Hingga sampailah
cuci darah yang ke delapan kalinya.
Ketika
tiba di ruang HD, proses cuci darah pun dilakukan.
Ayah
selalu setia menemaniku, selalu berusaha tegar walau dalam kesedihan.
“kasihan
ayah, pasti kelelahan setiap hari menjagaku, tidak bisa tidur nyenyak hanya
untuk mengawasiku. Ya Allah kuatkanlah ayahku dalam menjagaku, jangan engkau
biarkan tubuhnya lemah, janganlah enkau biarkan hatinya menangis” ucapku dalam
hati.
Ayah pun
datang menghampiri aku yang tengah berbaring di ruang HD.
“semoga
ini cuci darah yang terakhir” ucap ayah
“amin…”
jawabku
Empat jam
telah berlalu, proses cuci darah pun selesai. Dan aku dibawa kembali ke
kamarku.
Keesokan
paginya,,
“hai
Ndah,, besok jadwalnya HD ya..” ucap suster
“ya…”
jawabku
“aduh
cuci darah lagi” ucapku
“mungkin
keadaan ginjalmu belum stabil, makanya Indah harus kuat, lawan penyakitnya”
ucap ayah.
Keesokan
harinya…
“Ndah…”
ucap suster menyapaku
“Ini
pasti datang menjemputku untuk cuci darah” ucapku dalam hati
“untuk
sementara HDnya di tunda dulu pak, karena dokter melihat keadaan fungsi ginjal
Indah sudah membaik, nanti jika keadaannya menurun baru akan dilakukan HD lagi”
ucap suster menjelaskan kepada ayah.
“Alhamdulillah…”
ucapku.
Semenjak
itu keadaanku pun semakin lama semakin membaik.
Tidak
terasa sudah dua minggu dan selama itu aku tidak pernah melakukan cuci darah
lagi.
Keesokan
harinya aku melakukan ECO. Dan setelah selesai. Dokter mengatakan kalau keadaan
jantungku semakin membaik, mendekati normal.
“Alhamdulillah”
ucapku
Dua hari
kemudian,, hari ini tepatnya tanggal 7 September 2014, adalah hari ulang tahun
mama.
Aku dan
ayah pun segera mengucapkan selamat ulang tahun kepada mama. Walau hanya
melalui telepon, yang penting sampai kepada mama.
Aku
sedih, karena di hari bahagianya mama kali ini, gak ada aku dan ayah yang
menyaksikan indahnya senyuman mama.
Biasanya
kami selalu memberi kejutan kepada mama saat semua telah berkumpul dirumah,
namun untuk saat ini semuanya telah berubah, tidak seperti dulu lagi yang
selalu terasa ramai dengan canda tawa
kami.
Saat ini
mama hanya dikelilingi oleh adik-adikku. Aku kangen sama mama.
Dulu ada
ayah, ada aku dan adik-adik yang setia mengelilingi mama di tengah-tengah hari
bahagia ini.
Namun
kini, hanyalah keramaian yang dihiasi oleh air mata.
Ingin aku
berada di samping mama, memeluk mama dan mengatakan secara langsung “SELAMAT
ULANG TAHUN MAMA”, namun, keadaan telah berkata lain.
Dan
keesokan harinya, mama berangkat dari Taliwang ke Surabaya. Mama datang melihat
kondisiku sekaligus menggantikan ayah, karena ayah sudah harus masuk kerja
lagi.
Dan setelah
beberapa jam diperjalanan, mama pun tiba di Surabaya.
Saat mama
sampai di kamarku, mama langsung memeluk dan menyium keningku. Dan rasa
kangenku kepada mama kini telah terobati.
Dua hari
kemudian, ayah pun pulang ke Taliwang. Dan kini aku hanya ditemani oleh mama.
Semakin
lama keadaanku semakin membaik.
Empat
hari kemudian..
Setelah
dilakukan pemeriksaan, keadaanku sudah membaik dan besok dokter sudah
mengijinkan aku untuk keluar rumah sakit.
“Alhamdulillah,,”
ucapku
Dan
keesokan harinya..
“Akhirnya
aku keluar juga dari rumah sakit ini, terima kasih ya Allah, engkau telah
mengabulkan doaku, terima kasih karena engkau masih mengijinkanku
untukmenghirup segarnya udaramu, dan terima kasih juga atas kesabaran yang engkau
berikan kepada hambamu ini, sehingga aku dapat melewati semuanya dengan penuh
ketegaran” ucapku.
***
Karena
takut akan kejadian mengerikan kemarin terulang kembali, orang tuaku pun
menyuruhku untuk tinggal dulu di Surabaya, sampai keadaanku benar-benar pulih
barulah aku di ijinin pulang ke Taliwang.
Aku
sedih, awalnya aku mengira dengan keluarnya aku dari rumah sakit aku langsung
bisa pulang ke Taliwang dan bisa segera bertemu dengan adik-adik, keluarga dan
sahabatku.
Namun,
kenyataan berkata lain, kami menginap di sebuah home stay yang letaknya tidak
jauh dari rumah sakit.
Setelah
satu minggu, aku pun kembali control rawat jalan. Dan Alhamdulillah keadaanku
semakin membaik, namun masih saja dokter tidak mengijini aku pulang ke
Taliwang.
“Sampai
kapan aku harus tinggal disini. Aku ingin pulang…” ucapku dalam hati.
Aku hanya
bisa bersabar dan menunggu akan waktunya tiba.
Keesokan
harinya, mama harus segera pulang ke Taliwang karena harus mengajar. Dan aku
pun terpaksa di tinggal seorang diri di Surabaya. Aku hanya dititipkan kepada
ibu kos tempat aku menginap.
Sejak
saat itu pun aku mulai memberanikan diri untuk hidup mandiri, hidup yang hanya
seorang diri jauh dari keluarga.
Tidak
terasa dua minggu telah berlalu, dan hari ini adalah hari raya idul adha, aku
sedih karena di hari ini aku menjalani hari-hariku hanya seorang diri tanpa
keluarga disisiku.
Untung
saja keadaanku baik-baik saja, dan lupus itu tidak menggangguku.
Sepulang
dari melaksanakan sholat idul adha, orang tuaku menelponku, rasa rindu yang
kini makin mendalam semakin membuat air mata ku tak dapat terbendung lagi.
“selamat
hari raya idul adha nak…” ucap mama.
Mendengar
kata-kata itu, tak kuat hati menahan rasa rinduku pada mama n pada smuanya yang
ada di Taliwang.
Baru kali
ini aku melaksanakan hari raya tanpa keluarga.
“ya
Allah, kapan aku bisa bertemu dengan mereka?? Kapan aku bisa berkumpul di
tengah-tengah keluarga yang aku rindukan?? Kapan lagi aku bisa melihat
senyuman-senyuman indah di wajah orang tuaku??” ucapku.
Tidak
terasa satu bulan telah berlalu. Begitulah kehidupanku seterusnya, hidup yang
hanya seorang diri, namun aku bersyukur karena keadaann slama ini baik-baik
saja. Dan aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Namun yang berbeda kali ini
adalah aku yang tanpa ditemani oleh keluarga.
Aku
berharap, semoga lupus itu tidak mengusikku lagi sehingga akhirnya nanti aku
bisa berkumpul dengan keluarga dan orang-orang yang aku sayangi…
AMIN YA ROBBAL ALAMIN.
***