Rabu, 25 Maret 2015

Aku & Lupus, Part IV



Gelap Dalam Kegelapan

Meraih cahaya adalah impian setiap orang untuk mendampatkan sebuah senyuman dan menggenggam suatu kebahagiaan. Karena cahaya mampu mengusir gelap yang telah menyelimuti luka dan derita.
Bagiku kegelapan bukanlah sekejap mata yang terpejam, bukanlah sekilas tiupan angin yang berlalu, tapi adalah sebuah perjalanan panjang yang begitu  melelahkan.
LUPUS adalah kegelapanku, dan gelap itu adalah misteri dalam hidupku, yang tak pernah ku tahu bagaimana akan akhirnya nanti.
Dalam kisahku, dia adalah sosok gelap yang selalu berperan sebagai selimut deritaku.
Kadang dia tebal hingga membuat aku kesulitan untuk bernafas, kadang dia tipis sehingga membuatku merasa kedinginan. Tapi tak pernah ingin lepas dari tubuh ini. Selalu saja menyelimutiku, tak pernah perduli jika aku merasa kegerahan.
Sudah lima tahun aku berjalan bersama lupus, tapi masih saja aku bingung dengan keinginannya.
Tak aku turuti dia mengamuk, aku turuti pun dia mengamuk, tak jelas. Masih saja menggangguku. Mencengkram dari mana saja, sesuka hati menerorku.

***

          Juli 2014…
Saat ini bulan suci ramadhan dan tidak terasa tinggal sebentar lagi kita akan memasuki hari raya idul fitri.
Setelah beberapa minggu, di malam takbiran.
Awalnya aku baik-baik saja, kami pun takbir bersama, setelah hari sudah malam kami pun tidur, dalam kesunyian, saat tengah malam tiba, aku tak dapat bernafas, aku pun terbangun dan ku bangunkan adikku yang tengah tertidur pulas.
“adek…” ucapku membangunkan adek.
Adekku pun terbangun dan segera membangunkan ayah.
“astaga.. kakak tunggu sebentar ya…” ucap adek
Ayah pun datang menemuiku dan langsung menyuruhku untuk duduk.
“dicoba duduk dulu nak..” ucap ayah.
Namun aku tetap tak dapat bernafas, tapi setelah beberapa jam sesaknya pun mulai berkurang. Dan aku pun melanjutkan tidurku sambil duduk.
Keesokan paginya. Hari raya idul fitri pun tiba, keaadaanku semakin lama semakin membaik,, Alhamdulillah,, tanpa ku sadari, ternyata Allah telah memperlihatkan rahmatNya, begitu besar kuasaMu ya Allah, kini aku akan tetap bersyukur dengan apa yang aku dapatkan.

***

Dua hari kemudian…
 Disuatu malam yang dingin membuatku tak dapat tidur nyenyak. Suasana yang semakin sepi dan sunyi seakan membuat aku merasa sendiri.
Di sepertiga malam, semakin lama aku pun semakin gelisah.
“Ada apa ini? Mengapa jantungku berdebar kencang?” ucapku dalam hati.
Semakin kencang jantungku berdebar membuat aku semakin merasa takut. Aku pun membangunkan adikku yang tengah tidur pulas di sampingku.
“adek….!!!” Ucapku berbisik
“adek…..!!!!!” ucapku sekali lagi.
Namun, adekku tidak mendengar panggilanku.
“ya sudah, aku tidur saja, mungkin ini hanya perasaanku saja” ucapku dalam hati.
Dan aku pun melanjutkan tidurku. Namun, aku masih saja gelisah.
Aku pun mulai merasakan sesak nafas lagi, semakin lama, aku semakin merasa kekurangan oksigen, semakin kurang dan semakin kurang.
“ya Allah,, beginikah jalan hidupku,, selalu saja senyuman ini di hapus oleh air mata yang terus membasahi hatiku,, kuatkan aku dalam menjalani cobaanMu,, bantu hambaMu ini yang tengah lemah kesakitan”
Sesekali pandanganku terasa gelap. Dan aku pun mencoba membangunkan adikku lagi.
“Adek…..!!!!” ucapku.
Namun, adek masih saja tertidur pulas.
“Mungkin dia kelelahan” ucapku dalam hati.
Semakin lama, aku semakin kekurangan banyak oksigen.
“bagaimana ini, aku sudah tidak kuat lagi ya Allah, bantu aku, kemana larinya udara-udaraMu ya Allah, beginikah caraku untuk kembali kepadaMu. Aku harus kuat” ucapku dalam hati.
Semakin susah untuk bernafas membuat aku semakin panik, tak ada yang dapat aku lakukan selain berdoa mengharap pertolongan Allah. Air mataku pun mulai membasahi pipi ini.
“aku… tak akan pernah berhenti disini, aku pasti kuat” ucapku dalam hati.
Sejak saat itu aku tak bisa tidur, lantaran rasa sesak yang ku rasakan, hingga akhirnya, suara kokok ayam pun mulai terdengar. Matahari pun mulai menyinari.
“Alhamdulillah sudah pagi” ucapku dalam hati.
Dan adikku pun bangun. Dia terkejut karena melihat aku begitu lemas tidak berdaya yang tengah kesulitan untuk bernafas, wajahku pun pucat membuat dia panik dan berteriak.
“mamaaaaaa….!!!!!” Teriak adek.
Dengan segera, mama berlari menuju kamarku dan dibukalah pintu kamarku.
“astagaaaa… kamu kenapa nak?” ucap mama menangis.
 “bernafas pelan-pelan nak…!!!” ucap mama kepadaku sambil mengelus-elus punggungku.
Setelah beberapa menit kemudian aku pun membaik.
“tolong jagain kakakmu ya..!!! mama mau pergi sebentar” ucap mama kepada adikku.
“ya ma….” Jawab adik.
Adikku selalu setia menemaniku, menjagaku sepenuh hati.
Aku pun mencoba menenangkan diri. Tapi sesak nafas ini semakin lama semakin hebat. Aku dibuatnya lemah, aku pun tak sangkup untuk mengatakan apa-apa. Untuk menggerakkan tubuhku pun aku sudah tidak kuat lagi.
Aku pun merasakan sesak nafas yang begitu dahsyat dan adikku menjadi panik dan memanggil mama.
“mamaaaaaaa….!!!!!” Ucap adik.
“kalau begini terus, kakak tidak kuat, kakak harus segera di tolong, apa tidak sebaiknya kita bawa ke rumah sakit, kakak harus segera mendapatkan bantuan oksigen” ucap adek.
“ini pasti ulah lupus itu, maunya dia apa sih? Telah letih raga ini disakitinya, telah perih jiwa ini dilukainya. Enyahlah kau dari hidupku, tak pernah sedikit pun aku mengharapkan keberadaanmu di hidup ini” pikirku.
Aku tak akan pernah menyerah, aku akan berusaha memahami dan akan terus berfikir, bila aku harus berjalan meraih cahaya dalam kegelapan, aku pasti sanggup, asalkan dia si lupus itu tidak membuat onar.
Apakah tidak bisa untuknya hanya terdiam membisu memandang perjalananku tanpa harus ikut campur dalam perjalanku.
Melihat kondisiku yang tengah lemah tidak berdaya dan aku terlihat begitu pucat, mama pun segera menelpon ayah yang saat itu tengah bekerja.
Dan setelah itu mama meminta bantuan kepada saudaranya untuk membawaku ke rumah sakit umum.
Selama dalam perjalanan, ku tatap wajah mama yang telah basah oleh air matanya yang terus mengalir di pipinya, karena tak sanggup melihat anaknya yang hanya terdiam tanpa kata, ingin aku menghapus air mata itu, tapi saat ini aku tengah lemah, tak ada yang dapat aku lakukan selain hanya hati dan mata ini yang  dapat berkata.
“ya Allah hamba telah lemah, aku sudah tidak kuat lagi, mungkinkah ini panggilanmu? Apakah ini jalanku untuk kembali kepadamu. Mama….. usap air matamu, tataplah anakmu yang telah tak berdaya ini, peluk erat tubuh ini sepuas hatimu dan rasakan detak jantungku, karena mungkin engkau tidak akan pernah melakukan dan merasakannya lagi. Hentikanlah tangismu dan ciptakan senyuman manis untuk melepas kepergianku” ucapku dalam hati.
Ketika sampai di rumah sakit, aku pun segera dilarikan ke UGD, dan oksigen pun telah dipasangkan.
Aku masih tetap susah untuk bernafas.
Beberapa menit kemudian. Alhamdulillah… Keadaanku pun sudah tidak separah tadi.
Setelah di periksa oleh dokter umum, karena aku memiliki riwayat penyakit lupus, aku pun disarankan untuk langsung dirujuk ke rumah sakit tempat biasa aku dirawat dan segera bertemu dengan dokter yang khusus menangani aku.

***

Mama pun kembali mengabari tentang kondisiku kepada ayah.
Dan untuk pertolongan pertama, ayah menyuruh untuk membawaku ke klinik AIA saja, karena disana ada dokter yang biasa menangani aku, yaitu Dr. Gleen dan Dr. Anneke Samuel.
Setelah beberapa jam di rumah sakit umum, aku pun dibawa ke AIA klinik, menggunakan ambulance dan yang menemani aku saat itu, yaitu kakak Zul dan  mama yang selalu setia mendampingiku.
Diatas ambulan aku muntah-muntah, lemas tiada berdaya dipangkuan kakak Zul.
“indah… kamu harus kuat” bisik kakak Zul
Selama dalam perjalanan, rasa penasaran ini tak pernah ingin berhenti menghantui fikiranku, apa yang sebenarnya terjadi padaku? aku lelah jika harus terus tersenyum dalam kesedihan.
Ketika tiba di AIA klinik, aku pun langsung di periksa oleh dokter, sementara oksigen tak pernah lepas dariku.

***

Keesokan paginya, ayah pun datang menemuiku.
“hari ini, Indah, mama dan dokter akan berangkat ke Surabaya?” ucap ayah.
Aku pun hanya mengangguk dan tersenyum.
Seluruh persiapan telah di persiapkan oleh tim medis. Saat itu ayah tidak ikut membawaku ke Surabaya, ayah hanya bisa berdiri melihat keberangkatanku.
Raut wajah sedih terpancar dari muka ayah dan mama yang sedang menatap anaknya yang telah terkujur lemah di atas tempat tidur kini telah diangkat dari ambulance menuju pesawat.
Dengan tubuh yang telah diselimuti oleh sebuah kain kecil dan alat bantu pernapasan yang selalu ada diwajahku membuat tetesan air mata mereka pun mulai terjatuh.
Kami pun berangkat menggunakan sea plane.
Selama di pesawat aku sempat merasakan sesak nafas, oksigen yang diberikan seakan tak ada fungsinya untukku, namun, syukurlah dokter segera menanganiku.
Setelah tiba di Bandara Juanda Surabaya, kami langsung dijemput oleh ambulance.
Ambulance melaju dengan kencangnya dan suasana semakin haru oleh suara sirine yang terus menyala.
Pandangan mama tak pernah lepas kepadaku. Ingin rasanya aku memeluk mama, ingin aku menghilangkan rasa kesedihannya itu.
Setelah beberapa menit kemudian, kami pun tiba di rumah sakit premier Surabaya. Dan aku langsung dilarikan ke UGD.
Setelah lama diperiksa oleh Dr. Herlambang. Dokter pun memberitahukan hasil pemeriksaannya kepada mama dan memberikan beberapa surat yang harus ditanda tangani yang aku tidak tahu apa isi surat itu.
Setelah beberapa menit menunggu di UGD, aku pun dibawa ke ruang HCU. Namun belum bisa satu hari aku di ruang HCU, aku langsung dipindahkan ke ruang ICU.
Saat itu aku sudah tidak tahu lagi mau di apakan, aku sudah pasrah, karena aku sudah tidak sanggup berbuat apa-apa, tubuh ini telah lelah dan lemah.
Ketika tiba di ruang ICU, seluruh alat-alat medis pun di pasangkan.
Begitu banyak alat-alat yang menempel di tubuhku, mulai dari alat bantu pernapasan hingga alat-alat lain yang aku sendiri tidak tahu fungsinya untuk apa.
Dr. Hardiono, kepala ICU, datang menemuiku.
“ibu perkenalkan saya Dr. Hardiono, sebagai kepala di ruang ICU ini”
Diruang ICU, penjagaannya begitu ketat, tidak ada orang sembarangan yang boleh masuk, mama pun hanya bisa menjaga dan menungguku dari luar, hanya boleh masuk apabila jam membesuk telah tiba.
Keesokan harinya..
Di suatu pagi, Dr. M. Thaha, Sp.PD-KGH, PhD datang menemuiku.
“pagi Indah….!!” Sapa dokter
“pagi dokter….!!” Jawabku
“loh kok balik lagi? Kenapa?” Tanya dokter sambil memeriksaku.
Aku pun hanya tersenyum
Saat siang tiba, Prof. Dr. Joewono Suroso, Sp.PD, MSc datang menemuiku.
“selamat siang Indah…!!! Malah balik lagi ini” sapa dokter sambil memeriksaku.
“siang dokter..!!” jawabku tersenyum
Setelah itu, Dr. Purnomo, spesialis pancreas dan Dr. Evy Febriane, Sp.Jp, aku  jadi penasaran, kenapa dokter yang menangani aku kali ini begitu banyak? 
Awalnya mama menyembunyikannya dariku. Tapi akhirnya aku pun menjadi tahu, kalau Dr. Purnomo itu adalah dokter pangkreasku dan Dr. Evy, itu adalah dokter jantungku.
“Jadi, aku sakit jantung ma?” tanyaku kepada mama.
“akibat penyakit lupusmu nak, jantung dan pangkreasmu  jadi terganggu” jelas mama.
“apa sih maunya lupus itu? Selalu saja mengganggu hidupku, apakah masih belum puas dia menyerang ginjalku, kini dia menyerang pangkreas dan jantungku. Ya Allah, seberapa besar lagi cobaan yang akan datang kepada hambamu ini. Kuatkan aku dalam melewatinya” ucapku dalam hati.
Air mata pun mulai keluar dari persembunyiannya. Berusaha membasahi pipi yang belum sempat kering oleh hujan kemarin, kini telah dibasahi lagi oleh hujan hari ini. Namun, aku segera menghapusnya.
“mama tidak boleh melihat aku menangis…” ucapku sambil menghapus air mataku.
Di suatu malam, mama di panggil oleh Dr. Hardiono untuk membicarakan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, dan mama segera menelpon ayah dan  menyuruh ayahku segera datang.
Ayah segera membeli tiket pesawat untuk segera berangkat. Dan malam itu juga ayah berangkat ke Surabaya.
Setelah beberapa jam, ayah pun tiba di Surabaya.
Dan keesokan harinya saat jam besuk tiba. Mama masuk ke ruang ICU menemuiku, namun aku masih tertidur, saat mata ku terbuka, aku melihat ayah yang telah berdiri dihadapanku.
“apakah aku bermimpi?” ucapku dalam hati.
“ayah kapan datang?” tanyaku.
“tadi subuh sampai sini..” jawab ayah.
Waktu yang telah diberikan untuk membesuk ayah dan mama manfaatkan dengan sebaik-baiknya.
“ma.. kalau malam, mama dan ayah tidur dimana?” tanyaku.
“ada kok diruang tunggu” jawab ayah
“diatas kursi?” tanyaku
“kalau Indah cari mama dan ayah, bilang saja sama susternya, kita ada di depan kok” jawab mama.
Serentak aku pun terdiam, kasian orang tuaku, mereka sampai rela tidur di kursi hanya demi menjaga anaknya ini yang kadang tak pernah mendengar ucapan-ucapan yang keluar dari mulut mereka.
Ingin aku menangis, namun tak akan ku biarkan air mata ini terjatuh. Mataku pun mulai memerah yang basah oleh air mata ini.
“Indah kenapa nangis” Tanya mama
“emmm… ngantuk ma?” jawabku sambil tersenyum
“maaf untuk kali ini aku terpaksa berbohong kepada kalian, karena aku bingung mau jawab apa” ucapku dalam hati
Tidak terasa dua jam telah berlalu. Dan jam besuk pun telah habis, ayah dan mama pun beranjak keluar dari ruanganku.
Begitulah seterusnya yang mereka lakukan selama aku dirawat di ruang ICU.
Saat malam tiba, aku teringat akan ayah dan mama yang tengah menungguku diluar.
Tubuh-tubuh yang telah merawatku dan menyayangiku sepenuh hati, sungguh tak akan pantas jika harus berbaring, tertidur di atas kursi-kursi di ruang sana.
Dengan suasana yang begitu dingin menyentuh tubuh-tubuh mereka, tanpa dihangati oleh sebuah selimut, membuat aku semakin tidak tega membayanginya.
“ya Allah, jangan engkau biarkan orang tuaku, kedinginan diluar sana” ucapku.
Malam semakin larut, aku semakin tidak bisa tidur tenang.
“apa yang sedang dilakukan oleh ayah dan mamaku di luar sana. Aku harus sembuh, demi ayah dan mama yang telah rela kesakitan demi anaknya, semangat Indah” pikirku.

***

Di waktu siang tiba, para dokter yang menangani aku mengadakan rapat bersama ayah dan mama. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan.
Keesokan harinya, Dr. Pudjo, Spesialis anastesi pun datang menemuiku.
“selamat pagi nak” ucap dokter
“pagi dokter” jawabku
“saya akan memasangkan CVC untuk saluran infus yang lebih besar, agar langsung menuju ke peredaran darah besar dan agar lebih awet, saya akan memasangnya disini..” jelas dokter sambil menunjuk bahu sebelah kananku.
“dan saya juga akan memasang doplument, yaitu saluran untuk cuci darah atau dalam bahasa kedokterannya yaitu HD (Hemodelisa) di sini…” ucap dokter sambil menunjuk paha sebelah kananku.
Aku hanya terdiam.
“gak akan sakit, nanti saya akan suntikan bius lokal” jelas dokter.
“oke…!!” jawabku sambil sersenyum.
Seluruh alat-alat pun telah disiapkan. Dan aku pun telah ditutup oleh kain hijau.
Setelah telah dipasangkan, tinggal satu alat lagi yang akan dipasangkan yaitu, NGT, (saluran yang akan dimasukan melalui hidung yang langsung menuju ke lambung untuk memasukan makanan/sonde).
Setelah beberapa menit, akhirnya selesai juga. 
Keesokan harinya, aku menjalani pemeriksaan ECO, dan di siang harinya aku menjalani HD.
Ini untuk pertama kalinya aku cuci darah, alat-alat untuk cuci darah pun telah disiapkan. Dan setelah semua alat telah selesai disiapkan, HD pun segera dilakukan.
Beberapa menit kemudian darahku pun dikeluarkan dan dimasukan kembali melalui saluran yang telah dipasangkan dipaha kananku. 
“jadi, proses cuci darah itu seperti ini caranya..!!” pikirku.
Empat jam telah berlalu, proses cuci darah pun telah selesai.

***

Dua hari yang kemudian, saatnya cuci darah kedua. Dan setelah empat jam berlalu, proses cuci darah pun selesai.
Cuci darah kedua membawakan hasil yang bagus, keadaanku pun lebih baik daripada awal saat masuk rumah sakit.
 Hari ini ayah harus pulang ke Taliwang, karena ayah ambil izinnya hanya beberapa hari.
Ayah pun menyium keningku, dan melangkah meninggalkan ruang tempat aku dirawat, mama pun mengantar ayah sampai luar.
Beberapa jam kemudian…
Ayah pun berangkat.
Saat malam tiba, disaat aku tengah terlelap dalam tidurku. Keadaanku tiba-tiba menurun dan suster segera memanggil mamaku yang sedang menunggu di luar.
“kepada keluarga Nur Indah?” panggil suster.
“ya…”  ucap mama sambil berlari masuk.
Tanpa ditemani oleh ayah dan hanya seorang diri, mama pun menjadi panik dan tidak tahu harus berbuat apa.

***

Setelah beberapa jam di perjalanan, ayah pun sampai di Taliwang.
Ketika sesampainya dirumah, baru saja ayah meletakan barang-barangnya, tiba-tiba HP ayah bordering. Dan ternyata mama yang menelpon.
Dalam percakapan mereka, ternyata mama menyuruh ayah untuk segera datang ke Surabaya. Lantaran mama tidak sanggup jika harus seorang diri menatap anaknya yang telah lemah.
Mama mengabari ayah, kalau keadaanku yang semakin menurun.
Dengan segera ayah pun kembali lagi ke Surabaya. Dan setelah beberapa jam diperjalanan ayah pun tiba di Surabaya.
Mama pun legah karena ayah telah berada disampingnya.

***

Keesokan paginya, aku pun harus transfusi darah, karena Hb (Hemoglobinku) rendah dan aku terlihat pucat.
Setelah transfusi selesai, aku sudah tidak terlihat pucat lagi.
Saat jam besuk tiba. Ayah dan mama datang menemuiku.
“loh ayah belom pulang?” tanyaku
“sudah pulang, tapi balik lagi, karena kangen sama Indah” ucap ayah.
Aku pun tersenyum.
“Indah harus semangat, harus kuat, jangan mau kalah sama penyakit..!!!” ucap mama menyemangatiku.

***

Keesokan malamnya.
Saat aku tengah terlelap, aku merasa malam ini begitu panjang.
Dari luar ruangan ICU, terdengar suara sirine yang begitu mengerikan.
Ayahku pun terbangun dan takut terjadi sesuatu kepadaku.
Para dokter pun seegera berlari menuju ruang tempat aku dirawat, dengan raut wajah mereka yang penuh kekhawatiran sambil memasukkan tangannya ke dalam sarung tangan putih itu, membuat kekhawatiran ayah semakin besar.
Beberapa menit kemudian, suster pun keluar memanggil ayah.
“Keluarga Nur Indaaah pasien kritis” panggil suster.
Ayah menjadi panik dan segera membangunkan mama yang saat itu tengah tertidur di atas kursi.
“ma… ma… Indah ma…” ucap ayah membangunkan mama.
Sambil terkejut, mama pun terbangun dan mereka pun segera berlari menuju ruanganku.
Ketika  pintu ruangan ICU itu di buka, mata mereka langsung terpusat pada anaknya.
Dilihatlah para dokter dan perawat yang tengah sibuk dengan tugasnya masing-masing, sambil mengelilingi anak pertama mereka.
Perlahan ayah dan mama pun melangkah mendekati ranjang tempat dimana anaknya berbaring.
Dilihatlah pada monitor itu, detak jantung anaknya tidak terdeteksi. Ayah mulai terdiam membisu, pandangannya kosong, detak jantungnya seakan berhenti dan darahnya pun seakan membeku.
Ayah pun memegang kaki anaknya. Namun, dokter masih belum mengijinkan ayah dan mama untuk menyentuhku.
Ditataplah anaknya yang telah terselimuti oleh kain putih itu, kini tengah terpejam dan tak bergerak sedikitpun.
Gerak tangan-tangan dokter yang kini sedang berusaha memompa jantung anaknya dan lincah tangan para perawat memegang alat bantu pernapasan itu.
Genggaman tangan mama menggenggam erat tangan ayah, seakan berkata, tak ingin anaknya pergi meninggalkannya.
 “Indah…….” Ucap mama sambil menangis.
Ayah pun memeluk erat tubuh mama, yang tengah lemah tak berdaya. Air mata pun terjatuh dari pipi mama yang kini mulai basah dan semakin basah.
“tenang ma… jangan berhenti berdoa, semoga saja ada keajaiban dari Allah” ucap ayah menenangkan mama.
Dengan berdiri yang hanya bisa memandang anaknya. Sambil melihat para dokter berusaha sekuat mungkin. Tak putus mereka berdoa kepada Allah.
Sedangkan saat itu yang aku rasakan hanyalah aku yang sedang pergi jauuuuuhhh, sejauh mungkin.
Sementara dokter masih saja berusaha memompa jantungku.
Pompa pertama. Mataku masih saja tertutup, tidak bergerak dan detak jantuku tidak terdeteksi.
Dokter pun mencoba pompa ke dua kalinya.
Namun, masih saja, tidak ada perubahan. Tak ada respon sedikitpun dariku.
Orang tuaku pun menjadi lemah. Seakan berdiripun tak sanggup.
“Indah….” Ucap mama menangis.
“Indah… Indah bangun nak…” ucap mama.
“tenang ma,,” ucap ayah sambil memeluk mama.
Dokter pun mencobanya lagi, pompa ke tiga kalinya.
Dan Alhamdulillah, aku memberi respon positif, detak jantungku mulai terdeteksi. Dokter pun segera melakukan penanganan selanjutnya.
“Alhamdulillah…” ucap orang tuaku.
Ayah dan mama pun mendekatiku.
“Indah… Indah..” ucap mama sambil memegang tanganku.
Mataku pun terbuka.
“mama…” ucapku.
“apa yang sakit nak? Apa yang Indah rasakan?” Tanya ayah
“susah nafas..” jawabku.
Namun, ayah dan mama tidak mengerti dengan apa yang aku katakan, lantaran masker oksigen yang masih menutupi mulutku.
“ya sudah,, Indah yang kuat ya nak… jangan banyak bicara dulu” ucap mama
“kamu yang kuat nak,, bertahan,, disini ayah dan mama selalu mendoakanmu” ucap ayah
Begitulah cerita ayah, yang terjadi kepadaku selama aku tidak sadarkan diri.

***

Tiga hari kemudian, keadaanku mulai membaik, dan semakin lama semakin membaik.
Hari ini, mama harus pulang dulu ke Taliwang, mama harus mengajar, izinnya mama sudah habis.
Mama pun pulang ke Taliwang dan kini aku hanya ditemani oleh ayah.
Dua hari kemudian, bi emi, om rudin dan anak-anaknya berangkat dari Taliwang menuju Surabaya.
Setelah beberapa jam di perjalanan, mereka pun tiba di Surabaya.
Saat om Rudin dan bi Emi datang menemuiku.
“Indah yang semangat ya,, biar cepat sembuh,, nanti bisa main lagi deh sama adik-adiknya” ucap bi emi menyemangatiku
“Indah kuat,, pasti kuat,, jangan mau kalah sama penyakit,, nanti kalau sudah sembuh om ajak jalan-jalan” ucap om rudin 
Aku pun menjadi lebih semangat, aku gak boleh kalah sama penyakit ini.
Setelah lama berbicara, om rudin dan bi emi pun keluar dari ruanganku.
Dan keesokan harinya…
Tidak terasa sudah dua minggu aku dirawat di ruang ICU.
Aku kangen sama keluarga dan teman-teman yang ada di Taliwang.
Aku pun dipindahkan ke kamar pasien. Dan syukurlah kamarnya disediakan tempat tidur untuk penunggu pasien.
“Alhamdulillah,, ayahku sudah tidak harus tidur di atas kursi lagi dan aku tidak jauh-jauh lagi sama ayah” ucapku dalam hati.

***

Beberapa hari kemudian…
“Indah saatnya HD,, kita antar ke ruang HD ya” ucap suster sambil mendorong ranjangku keluar kamar menuju ruang HD.
“cuci darah lagi?” tanyaku dalam hati.
Ketika sampai diruang HD, sapa para petugas HD menyambutku dengan ramah.
“hallo Indah…” ucap salah satu petugas HD
“hai... Indah,, udah seger sekarang, gak lemes kayak waktu di ruang ICU” ucap petugas lainnya
“hallo..” jawabku menyapa mereka sambil tersenyum
Empat jam telah berlalu, proses cuci darah pun telah selesai, dan kini saatnya untuk kembali lagi ke kamarku.
Keadaanku pun semakin lama, semakin membaik.
Setiap hari keadaanku di control oleh dokter. Bahkan tak jarang sampel darahku terus di ambil untuk di uji di labolaturium.
Dua hari kemudian, aku terlihat pucat dan setelah diperiksa ternyata aku kekurangan hemoglobin dan harus transfusi darah.
Transfusi pun dilakukan. Dan setelah beberapa jam kemudian keadaanku pun kembali membaik.
Beberapa hari kemudian…
“Indah,, kami antar ke ruang HD ya…” ucap suster
“cuci darah lagi????” tanyaku
“ya Dr. Thaha menyarankan untuk cuci darah lagi, biar hasilnya bagus dan Indah cepat sembuh” ucap ayah
“sampai kapan??” tanyaku
“kurang tahu,, nanti Indah Tanya sendiri saja ke dokternya” jawab suster sambil mendorong ranjangku menuju ruang HD.
Setelah empat jam menunggu, proses cuci darah pun selesai. Dan aku kembali lagi ke kamarku.
“daaa Indah… yang semangat ya… harus kuat” ucap petugas HD
“ya.. trima kasih ya” ucapku
 “apakah akan seterusnya aku akan cuci darah???” tanyaku kepada ayah
 “ayah belum tahu nak.. kata dokter ada kemungkinann untuk selamanya dan bisa juga tidak” jawab ayah
Wajahku pun berubah drastis saat mendengar kata-kata itu. Aku pun terdiam.
“semuanya jawabannya ada di Indah sendiri, kalau Indah semangat, rajin minum obat dan ada kemauan untuk sembuh, pasti gak akan cuci darah lagi, untuk sekarang ini keadaan fungsi ginjalmu belum stabil, makanya dokter menyarankan untuk melakukan cuci darah, yang membuat ginjal Indah belum stabil itu karena lupusnya yang masih aktif, nah sekarang Indah harus buat bagaimana caranya agar lupus itu tidak aktif lagi” ucap ayah menjelaskan kepadaku.
“Lupus,, lagi-lagi lupus dan lupus, selalu saja dia yang menaruh pahitnya deritaku, sampai kapan dia akan menyakitiku, setia menemani namun malah mengubah cerah menjadi kegelapan, seakan menusukku dari belakang. Semoga saja gak akan cuci darah selamanya” ucapku dalam hati.
Dua hari kemudian.
“Indah…” ucap suster tersenyum kepadaku
“ya..” jawabku tersenyum
“waktunya HD lagi” ucap suster
Senyumku pun berubah dengan sekejap.
Begitulah kegiatanku, aku harus cuci darah dua kali dalam satu minggu. Hingga sampailah cuci darah yang ke delapan kalinya.
Ketika tiba di ruang HD, proses cuci darah pun dilakukan.
Ayah selalu setia menemaniku, selalu berusaha tegar walau dalam kesedihan.
“kasihan ayah, pasti kelelahan setiap hari menjagaku, tidak bisa tidur nyenyak hanya untuk mengawasiku. Ya Allah kuatkanlah ayahku dalam menjagaku, jangan engkau biarkan tubuhnya lemah, janganlah enkau biarkan hatinya menangis” ucapku dalam hati.
Ayah pun datang menghampiri aku yang tengah berbaring di ruang HD.
“semoga ini cuci darah yang terakhir” ucap ayah
“amin…” jawabku
Empat jam telah berlalu, proses cuci darah pun selesai. Dan aku dibawa kembali ke kamarku.
Keesokan paginya,,
“hai Ndah,, besok jadwalnya HD ya..” ucap suster
“ya…” jawabku
“aduh cuci darah lagi” ucapku
“mungkin keadaan ginjalmu belum stabil, makanya Indah harus kuat, lawan penyakitnya” ucap ayah.
Keesokan harinya…
“Ndah…” ucap suster menyapaku
“Ini pasti datang menjemputku untuk cuci darah” ucapku dalam hati
“untuk sementara HDnya di tunda dulu pak, karena dokter melihat keadaan fungsi ginjal Indah sudah membaik, nanti jika keadaannya menurun baru akan dilakukan HD lagi” ucap suster menjelaskan kepada ayah.
“Alhamdulillah…” ucapku.
Semenjak itu keadaanku pun semakin lama semakin membaik.
Tidak terasa sudah dua minggu dan selama itu aku tidak pernah melakukan cuci darah lagi.
Keesokan harinya aku melakukan ECO. Dan setelah selesai. Dokter mengatakan kalau keadaan jantungku semakin membaik, mendekati normal.
“Alhamdulillah” ucapku
Dua hari kemudian,, hari ini tepatnya tanggal 7 September 2014, adalah hari ulang tahun mama.
Aku dan ayah pun segera mengucapkan selamat ulang tahun kepada mama. Walau hanya melalui telepon, yang penting sampai kepada mama.
Aku sedih, karena di hari bahagianya mama kali ini, gak ada aku dan ayah yang menyaksikan indahnya senyuman mama.
Biasanya kami selalu memberi kejutan kepada mama saat semua telah berkumpul dirumah, namun untuk saat ini semuanya telah berubah, tidak seperti dulu lagi yang selalu  terasa ramai dengan canda tawa kami.
Saat ini mama hanya dikelilingi oleh adik-adikku. Aku kangen sama mama.
Dulu ada ayah, ada aku dan adik-adik yang setia mengelilingi mama di tengah-tengah hari bahagia ini.
Namun kini, hanyalah keramaian yang dihiasi oleh air mata.
Ingin aku berada di samping mama, memeluk mama dan mengatakan secara langsung “SELAMAT ULANG TAHUN MAMA”, namun, keadaan telah berkata lain.
Dan keesokan harinya, mama berangkat dari Taliwang ke Surabaya. Mama datang melihat kondisiku sekaligus menggantikan ayah, karena ayah sudah harus masuk kerja lagi.
Dan setelah beberapa jam diperjalanan, mama pun tiba di Surabaya.
Saat mama sampai di kamarku, mama langsung memeluk dan menyium keningku. Dan rasa kangenku kepada mama kini telah terobati.
Dua hari kemudian, ayah pun pulang ke Taliwang. Dan kini aku hanya ditemani oleh mama.
Semakin lama keadaanku semakin membaik.
Empat hari kemudian..
Setelah dilakukan pemeriksaan, keadaanku sudah membaik dan besok dokter sudah mengijinkan aku untuk keluar rumah sakit.
“Alhamdulillah,,” ucapku
Dan keesokan harinya..
“Akhirnya aku keluar juga dari rumah sakit ini, terima kasih ya Allah, engkau telah mengabulkan doaku, terima kasih karena engkau masih mengijinkanku untukmenghirup segarnya udaramu, dan terima kasih juga atas kesabaran yang engkau berikan kepada hambamu ini, sehingga aku dapat melewati semuanya dengan penuh ketegaran” ucapku.

***

Karena takut akan kejadian mengerikan kemarin terulang kembali, orang tuaku pun menyuruhku untuk tinggal dulu di Surabaya, sampai keadaanku benar-benar pulih barulah aku di ijinin pulang ke Taliwang.
Aku sedih, awalnya aku mengira dengan keluarnya aku dari rumah sakit aku langsung bisa pulang ke Taliwang dan bisa segera bertemu dengan adik-adik, keluarga dan sahabatku.
Namun, kenyataan berkata lain, kami menginap di sebuah home stay yang letaknya tidak jauh dari rumah sakit.
Setelah satu minggu, aku pun kembali control rawat jalan. Dan Alhamdulillah keadaanku semakin membaik, namun masih saja dokter tidak mengijini aku pulang ke Taliwang.
“Sampai kapan aku harus tinggal disini. Aku ingin pulang…” ucapku dalam hati.
Aku hanya bisa bersabar dan menunggu akan waktunya tiba.
Keesokan harinya, mama harus segera pulang ke Taliwang karena harus mengajar. Dan aku pun terpaksa di tinggal seorang diri di Surabaya. Aku hanya dititipkan kepada ibu kos tempat aku menginap.
Sejak saat itu pun aku mulai memberanikan diri untuk hidup mandiri, hidup yang hanya seorang diri jauh dari keluarga.
Tidak terasa dua minggu telah berlalu, dan hari ini adalah hari raya idul adha, aku sedih karena di hari ini aku menjalani hari-hariku hanya seorang diri tanpa keluarga disisiku.
Untung saja keadaanku baik-baik saja, dan lupus itu tidak menggangguku.
Sepulang dari melaksanakan sholat idul adha, orang tuaku menelponku, rasa rindu yang kini makin mendalam semakin membuat air mata ku tak dapat terbendung lagi.
“selamat hari raya idul adha nak…”  ucap mama.
Mendengar kata-kata itu, tak kuat hati menahan rasa rinduku pada mama n pada smuanya yang ada di Taliwang.
Baru kali ini aku melaksanakan hari raya tanpa keluarga.
“ya Allah, kapan aku bisa bertemu dengan mereka?? Kapan aku bisa berkumpul di tengah-tengah keluarga yang aku rindukan?? Kapan lagi aku bisa melihat senyuman-senyuman indah di wajah orang tuaku??” ucapku.
Tidak terasa satu bulan telah berlalu. Begitulah kehidupanku seterusnya, hidup yang hanya seorang diri, namun aku bersyukur karena keadaann slama ini baik-baik saja. Dan aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Namun yang berbeda kali ini adalah aku yang tanpa ditemani oleh keluarga.
Aku berharap, semoga lupus itu tidak mengusikku lagi sehingga akhirnya nanti aku bisa berkumpul dengan keluarga dan orang-orang yang aku sayangi…
AMIN YA ROBBAL ALAMIN.

***